Aku,@nuellubis (author "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh") tengah bersama Leonardo Simanungkalit di kawasan Serpong, Tangerang Selatan. |
Foto di atas itu rekayasa sebetulnya. Aku hanya pura-pura tengah merokok. Saat temanku yang bernama Leo itu tengah merokok, aku minta ijin kepadanya untuk memegang rokok yang masih terbakar api. Haha. Buat gaya-gayaan saja sih. Sebab, entah kenapa, laki-laki jika tengah merokok, lalu berpose dalam sebuah foto, pikiran nakal aku selalu bilang itu keren. Itu sejak aku masih seorang pelajar SD.
Lol. Mungkin itu karena pengaruh tontonan atau bacaan. Sebab, dulu pernah tahu, jika kita terus menerus melihat sesuatu, walau sesuatu itu sebetulnya salah (kalau tak mau dibilang jahat), makin lama dalam diri kita akan bilang sesuatu itu keren, yang berlanjut akan berkata bahwa sesuatu itu benar dan baik. Begitu katanya.
Anyway, aku bukannya tidak pernah merokok sama sekali. Bibirku ini pernah menyentuh tembakau rokok. Bukan yang mild, loh. Rokok seperti Djarum atau Gudang Garam, keduanya pernah bersentuhan dengan bibirku.
Bagaimana bisa?
So, awal mulanya itu saat aku masih kelas 2 SD (atau mungkin kelas 3 SD). Aku yang tengah marah dengan Mendiang Mami, menakut-nakuti Mami dengan cara mengambil rokok kepunyaan paman, yang sok-sokan mau benar-benar dicoba. Untung percobaan pertama gagal. Sepertinya aku merasa ada 'sesuatu' yang menegurku untuk tidak melakukannya, apalagi hanya untuk sekadar membalas omelan Mami.
Tapi, tak berhenti sampai di situ. Sejak kelas 1 SMP, seringkali beberapa teman SMP mengajakku untuk ikut merokok. Sayang imanku begitu kuat. Beruntung aku masuk SMA Katolik yang sudah dikenal memiliki disiplin kuat (walau pernah kudengar, ada juga satu-dua teman yang merokok diam-diam di luar jam belajar, lol).
Haha. Sampai akhirnya, saat berkuliah di Atmajaya (yang di Jakarta Selatan), bibirku bersentuhan juga dengan tembakau (dan mungkin juga nikotin). Kalau tak salah, itu terjadi saat semester tujuh dan menjelang UAS Legal Drafting-nya Pak Daniel Yusmic. Sembari menunggu kelas dibukakan, aku dan beberapa mahasiswa/i sibuk belajar. Nah, sebagian dari mereka belajar sambil merokok. Salah satunya, Rudi Lapet. Tidak tahu kenapa, aku spontan bilang begini, "Apa enaknya sih merokok itu?"
Rudi Lapet tidak tertawa. Ekspresinya biasa saja. Malah badungnya Lapet menawariku sambil berkata,"Cobain aja,"
Aku masih tetap spontan begitu. Aku spontan mengambil rokok yang tadi diisap Lapet, lalu aku isap di mulutku. Alhasil, aku agak batuk-batuk. Pahit rasanya yang kurasakan. Satu-dua teman menjahiliku dengan berkata, "Isepnya pelan-pelan, Bang Im. Nafsuan amat ngisepnya."
Aku nyengir saja. Lalu, aku kembalikan rokok itu ke Lapet. Lapet balas nyengir dan tak berkata-kata apa lagi. Aku pun kembali sibuk belajar Legal Drafting.
Dias tengah di Gereja Katolik St. Arnoldus Janssen, Bekasi. |
Hmmm.....
Heran aku. Kok bisa ada anggapan bahwa pria merokok itu keren dan macho? Kok bisa dulu semasa kecil aku punya pikiran seperti itu juga, yang terlebih muncul saat melihat gambar pria tengah merokok? Padahal, kan tidak juga ya. Aku bahkan memiliki lumayan banyak teman yang keren-keren, yang tidak merokok. Satu-dua malah pernah tidak merokok sama sekali.
Salah satunya bernama Kristoforus Bramandias, sahabat sekaligus seniorku yang meninggal pada tanggal 23 Oktober silam. Dias sendiri yang bilang padaku. Lalu, aku percaya saja. Apalagi, memang benar begitu. Sebab, tiap lihat foto-foto Almarhum, bibirnya memang masih sangat cerah begitu. Menurutku, bibir Dias seperti bibir bayi saja.
Haha.
Well, tak hanya bibir Dias yang seperti bibir bayi. Beberapa bagian tubuhnya juga seperti bayi (atau anak-anak). Kulitnya mulus begitu, yang bahkan termasuk bulu kakinya tidak ada (sebab, aku penasaran saja, yang rasa penasaranku muncul karena kulit tangan Dias yang seperti anak kecil). Bahkan, jika bertemu Dias langsung, amati baik-baik wajah Almarhum. Wow, hampir tak pernah kelihatan wajah Almarhum pernah tumbuh kumis, jenggot, dan berewok. Seperti kulit anak-anak saja.
Lucu. Padahal Dias itu kelahiran 1987. 11 Desember nanti, Dias akan berulangtahun (yang dua minggu kemudian, hari perayaan kelahiran Tuhan Yesus Kristus). Namun, tubuh seorang yang sangat menggemari sosis brattwurst ini seperti tak mengenal tanda-tanda akil balig atau pubertas. Bahkan Dias pernah bercerita bahwa dirinya belum pernah mimpi basah sama sekali. Wow!
Karakter Dias juga seperti kanak-kanak. Itu menurutku, loh. Dia terlalu berpikiran positif, terlalu berpendirian tegas, serta terlalu optimis. Makanya, Dias itu sama seperti anak-anak. Beberapa sifatnya yang seperti itulah yang sangat kukagumi. Kapan diriku ini bisa berpendirian tegas seperti Dias, yang sekali bilang A, ya tetap A? Gara-gara itulah, amat susah pendirian Dias yang diganggu gugat. Sampai Dias, yang kulihat, seperti agak dijauhi oleh beberapa temannya. Padahal sih, orangnya sangat luar biasa baik dan tidak seperti yang kebanyakan orang katakan tentang dirinya. Dias juga sangat humble, easy-going, dan down-to-earth. Belum lagi , Dias juga amat religius. Pengetahuannya akan agama dan Tuhan sangat luar biasa sempurna, yang menurutku secara pribadi.
Hmmm.....
Satu lagi, Dias itu seorang penyuka warna biru sejati, apalagi biru dari seorang malaikat Gabriel (salah satu dari tujuh malaikat agung Allah).
Rest in peace, Kristoforus Bramandias! Let God finish the rest. Damai Tuhan sekiranya selalu menyertai kamu, keluargamu, pujaan hatimu (yang juga calon kamu, ehem 😆), serta segala orang-orang terdekatmu! Aku percaya arwahmu mendapatkan tempat terbaik di kediaman Tuhan Allah. Biarlah penyebab sebenarnya kematianmu menjadi rahasia ilahi. Biar Tuhan yang balas saja, yak, Bro! 😇
Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^