Manusia
adalah makhluk yang punya akal dan budi. Selain itu, manusia juga diberikan
Tuhan satu karunia lagi. Yaitu, kehendak bebas. Karena itulah, manusia bebas
berbuat apa saja. Bebas mau berbuat baik; atau bebas mau berbuat jahat.
Seringkali pilihan kedua yang dipilih, walau berbuat baik itu tak ada salahnya
dan tak ada ruginya.
Kisah ini terjadi di sebuah daerah
permukiman padat di sebuah kota besar. Dari balik awan, tiba-tiba saja sebuah
kamera menyorot sebuah rumah petak. Di ruang depan rumah petak tersebut, tengah
bercengkeramalah tiga orang wanita. Tiga wanita itu sedang menggendong anak
mereka yang masih berumur dua tahun. Seperti kebiasaan ibu-ibu umumnya, mereka
bertiga memang sedang bergosip.
Namun yang digosipkan bukanlah soal
selebrita. Mereka sedang menggosipkan soal seorang anak yang memiliki
kecerdasan di atas rata-rata. Mereka juga bingung mengapa anak tersebut bisa
secerdas itu. Hingga akhirnya, mereka bertiga sepakat bahwa anak tersebut
mungkin cerdas, karena faktor nutrisi. Nutrisi yang baik, mungkin saja
diberikan padanya semasa masih orok.
“Wah kayaknya aku perlu juga nih
memberikan susu formula buat bayiku. Yah siapa tahu saja, nanti bayiku bisa
seperti anak itu.” ucap wanita berambut pendek.
Lalu wanita yang berbadan sedikit
gemuk menimpali ucapan temannya itu, “Tapi susu formula itu kan mahal, Jeng.
Duit darimana tokh? Lagipula suamimu kan hanya supir angkot.”
Sejenak wanita berambut pendek itu
terdiam. Namun beberapa saat kemudian, ia meresponnya, “Hmm, mungkin ada
baiknya kali yah, kalau aku minta bantuan sepupuku cara mengutil di minimarket. Soalnya baru-baru ini dia
sukses mengutil beberapa kaleng susu di sebuah minimarket.”
Wanita berbadan sedikit gemuk
mengerutkan dahinya. “Gila kamu Jeng. Itu kan kriminal. Kamu nggak takut masuk
penjara apa? Apalagi minimarket sekarang sudah dipasangi kamera, lho.”
“Yah demi anak, Jeng,” jawab wanita
berambut pendek itu. “Lagipula, memang
kamu punya ide yang lebih baik dari aku?”
“Gimana kalau kita minta susu
bekasnya Toko Koh Aceng saja? Kudengar dari si Wati, dia baru saja dapat
sekaleng susu dari Koh Aceng-nya langsung.”
“Koh Aceng bukannya pelit yah?”
“Yah sebetulnya bukan dikasih juga sih.
Melainkan ambil langsung dari dekat tempat sampahnya. Diambil pun, Koh Aceng
juga nggak bakal marah-marah. Justru berterimakasih, malah.”
“Ah, tapi kayaknya lebih beresiko
idemu. Salah-salah anakku yang keracunan. Bisa saja kan susunya sudah kadaluwarsa.
Mending ideku, deh. Lagipula nggak semua minimarket,
ada kameranya.”
“Tapi susunya itu nggak semuanya
kadaluwarsa. Kalau kita cermat, ada juga yang masih layak. Yang sebulan atau
seminggu sebelum kadaluwarsanya,” kata wanita berbadan sedikit gemuk itu. “Oh yah, Jeng, kamu sendiri gimana?” Wanita
berbadan sedikit gemuk itu mendadak bertanya pada wanita berambut panjang yang
dari tadi hanya memperhatikan.
“Ide kalian itu sama-sama beresiko,
deh, kalau aku bilang. Ide yang pertama beresiko masuk penjara. Lagipula walau
nggak ketahuan, tetap saja bikin hati nggak tenang. Ide yang kedua juga sama
saja. Memang sih, ada yang masih layak minum. Tapi sama saja. Kubaca di
majalah, walau sebulan atau seminggu sebelum kadaluwarsa pun, susu itu tetap
saja nggak layak. Kalau aku sih, mending kasih buah hatiku ASI saja. Dan kalau
dia sudah sedikit besar, air putih atau teh juga lebih baik untuk diminumnya –
menggantikan susu kaleng. Atau nanti dia bisa kuberikan jamu buatanku.”
“Kamu memang nggak mau, Jeng, punya anak cerdas?” sergah wanita berambut
pendek.
“Yah mau sih. Tapi kan kondisinya
juga berbeda dengan anak cerdas itu. Anak cerdas itu dari keluarga berada yang
bisa beli susu kaleng. Lha aku? Suamiku kan hanya seorang buruh dengan
penghasilan pas-pasan, dan aku hanya seorang tukang jamu keliling. Lagipula
soal cerdas kan, itu juga sebetulnya karunia Tuhan. Kalau Tuhan memang
berkehendak, aku percaya anakku nanti secerdas anak tadi.”
“Yo
weis, sakarepmu lah,” kata wanita berambut pendek. “Kalau aku sih, tetap
bersikukuh dengan ideku itu.”
“Aku juga.” Wanita berbadan sedikit
gemuk itu membeo.
Akhirnya, ketiga wanita itu tetap
ngotot dengan ide masing-masing. Mereka semua bersikukuh dengan ide
masing-masing, lalu menjalankannya keesokan harinya. Hingga tiga hari kemudian,
berembus kabar bahwa wanita berambut pendek itu sedang berada di kantor polisi.
Rupanya aksi pengutilannya itu telah tertangkap basah. Ia terpaksa meninggalkan
anaknya yang masih bayi untuk waktu yang cukup lama.
Berikutnya, sebulan kemudian, di
sebuah rumah petak terdengar suara-suara yang biasanya terdengar, bila ada yang
meninggal. Yah, rupanya anaknya wanita berbadan sedikit gemuk itu meninggal.
Diduga, anak itu meninggal, akibat dari susu kadaluwarsa yang diminumnya.
Lalu, bertahun-tahun setelahnya,
wanita berbadan sedikit gemuk dan wanita berambut pendek itu hanya bisa
memandang iri pada wanita berambut panjang. Apalagi, saat melihat
berpuluh-puluh wartawan mengunjungi rumahnya yang kecil. Ternyata anaknya itu
baru saja menjadi juara pertama dalam lomba cerdas cermat tingkat kabupaten.
* Sebetulnya ada niat untuk mempublikasikan cerpen ini pada hari Kartini kemarin (21 April). Tapi tak apalah, aura hari Kartini masih tetap terasa hingga hari ini. Ho-ho-ho. Dan, latar fotonya itu di tahun 2020. Tulisannya dulu eksis, baru foto ilustrasinya dicantumkan.
Waaah... keputusan yang kita ambil saat ini, sangat menentukan masa depan kita kelak....
ReplyDeleteYah kurang lebih begitulah... Hohoho
Deletemasa depan adalah hasil dari masa lalu...
ReplyDelete