One Day with Johny
“John... gue nggak terima lo jadi cowok gue, karena gue nggak mau punya cowok yang bau kaki. Bau kaki, Jon. Bau kaki!”
“Gue trauma, Jon. Digo aja yang bau ketek, ternyata seorang playboy tulen. Gimana dengan lo? Lo yang bau kaki, jangan-jangan sama parahnya. Mungkin lo lebih parah daripada Digo. Makanya itu, Jon.Sorry banget, gue nggak bisa nerima lo jadi cowok gue! Mungkin. Suatu hari nanti. Disaat bau kaki lo sudah hilang. Gue baru bisa nerima lo jadi cowok gue”
“Bye, Jon. Makasih
buat kebaikan lo selama ini. Prili”
Johny
lagi galau tingkat distrik di Papua. Dari tadi kerjaan Johny cuman menatap
murung layar handphone-nya yang lecet-lecet, sama tragisnya dengan
perasaan Johny sekarang. Matanya tak kuasa menahan haru, ketika Johny berulang
kali membaca pesan terakhir dari Prili, cewek yang diakui Johny sebagai gebetan
barunya.
Bukan
haru juga sebetulnya. Haru masih mending. Karena haru itu biasanya identik
dengan perasaan bahagia. Lha, ini? Apa yang baru saja – sekitar dua jam lalu –
bukanlah sesuatu yang bersifat haru. Segala pesan elektronik dari Prili, cewek
incarannya, terlalu membuat kebas hatinya. Bikin sesak. Kalau kata Cita Citata,
“…sakitnya tuh di sini…” – sembari menunjuk-nunjuki kemontokan dadanya yang
lebih dahsyat daripada sepotong ayam goreng buatan Nyonya Suharti yang begitu
melegenda.
Bete banget nih gue.
Enakan kemana yah?
Bibir
Johny maju beberapa mili – atau mungkin senti. Matanya mulai keluyuran. Yah,
hari ini memang sungguh cerah. Tak terik, tak mendung. Pas di hati.
Brengsek nih
Narator-nya. Babik lu! Nggak usah bawa-bawa soal hati deh. Masih sakit nih. Lu
blon pernah kan ditolak cewek?!
Terlihat
beberapa pejalan kaki mengernyit bingung ke arah pemuda berperut buncit
tersebut. Mungkin mereka sangka, Johny itu pasien yang baru kabur. Beberapa
malah sudah mengambil langkah seribu. Menjauh sebisa mungkin agar tak diamuk.
Oke,
oke. Tampaknya tokoh utama kita ini sedang tak bisa diajak bercanda, Kawan.
Mari kita lihat sebuah taman yang berada di seberang jalan. Oh lihat, sepasang
kekasih itu – yang tengah berjalan bergandengan tangan dengan masing-masing
menikmati es krim cone rasa stroberi
dan mokacino.
Grrr…
Johny
pun mulai siap menerkam sang Narator kita ini yang tampan rupawan.Abaikan
si Johny berkepala botak itu. Lebih baik kita mulai beringsut lebih dekat ke
sepasang kekasih itu.
Ah,
sepasang kekasih itu sungguh pasangan yang ideal. Kemesraan mereka sudah
membuat beberapa orang jomblowan-jomblowati – termasuk Johny – harus menggigit
keras-keras lidah mereka (Awas infeksi ya! He-he-he). Si perempuan sengaja
menjatuhkan kepalanya di dada si laki-laki yang bidang. Si lelaki – yang mungkin
sudah mendapat lampu hijau – membelai-belai rambut bergelombang si perempuan.
Lalu dengan tuturnya yang mungkin sengaja dilembut-lembuti, si lelaki berkata, “Ay, ayo kita jalan-jalan,”
“Kita mau ke mana?“tanya balik si perempuan.
“Ikut saja denganku.“ujar si lelaki dengan senyuman
yang menyebalkan. Sok tebar pesona. Mungkin begitulah pikir beberapa lelaki
yang menyaksikan, termasuk Johny yang masih dongkol karena Prili. Lebih dongkol
lagi, tatkala si lelaki mulai menggombali si perempuan.
“Kamu cantik. Dengan pakaian seperti itu, kamu bagaikan putri dari
kahyangan.“ ujar lelaki
itu yang mengomentari pakaian yang perempuan itu kenakan. Kaus polos kebesaran
berwarna putih dengan rok kuning di atas lutut.
“Kamu sedang menggodaku?”
“Menurutmu?“ Ia tersenyum kemudian menggandeng tangan si perempuan
tersebut.
Nyebelin banget.
Iya,
John. Memang menyebalkan pemandangan seperti itu. Saya – sebagai naratornya –
mulai jengah pula menyaksikan pemandangan sok manis itu.
“Kamu sudah
capek?“ tanya si lelaki ketika mereka sudah banyak melangkah –
dan hampir segera memasuki taman yang cukup ramai dikunjungi saat malam minggu
kali ini.
“Kamu capek?“ Si perempuan balik bertanya. Lalu si lelaki menepuk kepala si perempuan dengan
gemas – sebagai jawabannya.
“Aku
lapar. Aku mau makan ice cream.“
“Lapar tuh makannya nasi, bukannya ice cream.“
“Tapi aku maunya ice cream. Rasa
vanilla. Ya? Ya? “ Si perempuan
spontan memeluk lengan si lelaki dengan tatapan manja yang selalu bisa membuat
para lelaki luluh. Kalau untuk yang bujangan, mungkin menatap nanar dengan
ingus turun beberapa centimeter mencapai bibir atas.
“ Baiklah. “
“Ay, kalau suatu saat aku tidak bisa
mengajakmu pergi ke tempat bagus dan hanya bisa mengajakmu jalan kaki seperti
ini, kamu akan meninggalkanku?“ pertanyaan
mengejutkan yang keluar dari mulut si lelaki.
“Kenapa bertanya seperti itu? Kamu tau,
jalan kaki seperti ini, melewati jalan dengan dikelilingi pohon rindang, dan
tentunya dengan kamu yang selalu menggandeng tangan aku, itu sudah lebih dari
cukup.“ kata si perempuan jujur. “Dan aku tak ingin hari ini berputar cepat.
Aku ingin menikmati setiap langkah kaki kita,“
Rese lu! Ini kan cerita
gue. Kenapa lu malah asik sendiri sama… aaarghh,… nyebelin lu!!!
Oke,
oke, saya minta maaf (Narator kita yang berkacamata dan tampan ini mengeluarkan
cengiran termodisnya). Mending kau lanjutkan saja perjalananmu dalam
menghilangkan kegalauan.
Tiba-tiba nama Mak Indun ramai diperbincangkan. Beberapa orang di
ujung jalan – setelah sobat kita ini kembali melanjutkan jalan-jalan sorenya –
mulai menggosipkan sebuah warung bakso. Konon, sejak ia kembali dari entah,
lantas membuka warung bakso, warga kampung berebut membeli baksonya. Sementara
yang meletus dari bibir pembeli kebanyakan bernilai baik. Beberapa orang
beranggapan, kepergian Mak Indun beberapa tahun lalu berbuah resep bakso sakti.
Gue
amatin panjangnya antrean di warung bakso Mak Indun. Pengin banget rasanya ikut
ngecicip, tapi kayaknya si Narator bersikeras melarang gue buat ngerasain juga.
Nanti kamu semakin ndut, lho!
“Tak kah kau pikir ada apa-apanya? Coba kau ingat sebab
kepergiannya!” pekik salah seorang pejalan kaki. Mungkin pria paruh baya itu
saingan Mak Indun. Tampak ia begitu menyeringai dan nyalang. Mendengus-dengus
pula.
Ah, iya, saya sebagai narator teringat
sesuatu. Sewaktu Mak Indun pergi pun menimbulkan geger. Ia dipaksa pergi dari
kampung. Beberapa warga menuduhnya mempraktikkan ilmu hitam tersebab banyak
bayi yang meninggal mendadak. Dan semua petunjuk mengarah kepadanya. Mak Indun
pergi dengan amarah yang memercik dari sudut matanya. Meskipun kemudian
terbukti tak benar, heran juga warga yang membeli bakso Mak Indun tak pernah
mempermasalahkannya.
Dan…
Woy, John! Kamu itu sedang apa? Pakai acara mengendap-endap di dekat
dapur Mak Indun segala. Tak baik itu mengintip itu. Ya walau saya tahu, kamu
mengintip sekadar membuktikan kebenaran rumor tersebut.
Sori, kalo
gitu!
Tampak Mak Indun berdiri mengangkang di atas panci bakso. Ia
mengangkat sarungnya hingga ke lutut. Bunyi gemericik terdengar seiring air
yang mengucur dari selangkangnya. Setelah meludah beberapa kali ke dalam panci,
barulah parasnya memancarkan kepuasan.
Ha-ha-ha. Johny lansung tunggang-langgang menyaksikan pemandangan menjijikan.
Wajahnya pasi bak seorang copet kepergok dalam aksinya. Syukurnya Mak Indun dan
beberapa karyawan-karyawati tak begitu menggubris perbuatan mata-matanya itu.
Sang tokoh utama kita kembali melanjutkan perjalanan musafirnya
demi menyembuhkan luka-luka di hatinya. Kali ini, mata Johny begitu
terperangah. Sebuah panti asuhan. Ternyata setelah menginvestagasi tiga-empat
remaja yang nongkron, ia tahu bahwa di panti asuhan sedang ada sebuah perayaan sweet seventeen. Ya ampun, so sweet sekali. Jarang ada seorang
remaja putri yang merayakan ulangtahun yang begitu istimewanya di sebuah panti
asuhan. ***** Malamnya,
Puput dan Roki diajak jalan-jalan oleh kedua orang tuanya. Puput yakin, kedua
orang tuanya tak ingin membuatnya sedih di hari yang terpenting baginya itu.
Karena itu ia menduga, mereka mungkin akan diajak makan di restoran dan
semacamnya. Tapi sejujurnya, Puput sudah tak mengharapkan ulang tahunnya
dirayakan lagi. Ia sudah merelakannya.
“Kita
mau ke restoran ya, Pa?” tebak Roki saat mobil mereka sudah satu jam lebih
melaju. “Masa lagi kacau begini masih mau ngerayain ulang tahun Kakak?”
Puput tertawa karena
dugaannya sama dengan adiknya. “Iya, Pa. Puput juga nggak keberatan kok, kalau
ulang tahun Puput kali ini nggak dirayakan. Tahun depan kan masih ada.”
“Siapa bilang kita mau ke
restoran?” ujar Papanya sambil tersenyum penuh misteri.
Puput dan Roki
berpandangan bingung.
“Nah,
kita udah sampai.” celetuk Bunda nya.
Di
depan sebuah rumah, Rere, Syasya dan Rani sudah berdiri menyambut. Disamping
mereka berbaris anak-anak kecil berbaju muslim. Rani memegang sebuah kue bolu
berhiaskan selamat ulang tahun.
“Ini
dimana? Kok kalian bisa di sini?” tanya Puput takjub.
“Kejutan!” seru Rere dan Syasya
ribut.
“Bunda kamu tuh yang punya rencana.”
“Rani yang punya rencana,” tambah
bundanya
Ternyata
Rani dan bundanya mengatur agar bisa mengadakan acara syukuran di panti asuhan.
Anak-anak yatim piatu yang hadir di sana mengucapkan selamat sambil menyalami
Puput satu persatu. Mereka terlihat gembira sekali. Padahal Puput yakin,
bangunan Panti Asuhan yang mereka tempati sebenarnya tak muat menampung mereka
semua. Apalagi memberikan penghidupan yang layak.
Acara
syukuran pun dilanjutkan dengan doa bersama serta makan bersama dengan menu
sederhana yang dipesan dari rumah makan padang terdekat. Tanpa disadarinya,
Puput merasa terharu. Sungguh konyol dirinya selama ini. Kenapa ia bersedih
untuk hal sepele? Padahal ternyata ada banyak orang yang keadaannya jauh lebih
menyedihkan. Tapi mereka tetap bahagia. Ia seharusnya belajar dari
mereka.
Puput
tersenyum. “Terima kasih ya, Rani. Terima kasih Bunda. Ini adalah ulang tahun
yang paling spesial dari yang pernah ada.” bisiknya.
“Ya, tapi maaf yah, Put,” Rani
nyengir. “Maaf nih, kalau nggak JKT48-nya. Kamu kan nge-fans banget sama mereka. Apalagi sama yang namanya Jessica Veranda
itu.”
“Iiiih… kamu apaan sih?” Rahang
Puput spontan menegang. Senyum raib. Seketika itu juga, memori memaksanya untuk
kembali menjelajah waktu.
“Lagian
itu kan juga usulnya si Rere. Bukan usulku.” dengus Puput. ***** Obrolan
tentang perayaan ulang tahunnya yang ke-17 itu juga muncul di sekolah, saat
Puput berkumpul dengan teman-temannya di jam istirahat. Puput memang selalu
meminta pendapat teman-temannya setiap ia akan mengadakan acara. Apalagi acara
perayaan ulang tahun.
“Gimana
kalau undang JKT48 aja Put?” usul Rere yang rambutnya dikuncir. “Dijamin meriah
abis! Kan mereka lagi tenar banget sekarang. Apalagi kamu demen banget kan sama
yang namanya Jessica Veranda.”
“Kemahalan!
Lagian kan kita udah gede, Put. Mending undang penyanyi solo yang lagu- lagunya
romantis aja. Afgan mungkin?” tambah Syasya. Rani, teman Puput yang paling
kalem, memperbaiki letak pin di jilbab nya.
“Menurut
Aku sih mending bikin acara syukuran aja, Put.” Puput, Rere dan Syasya
melongo.
“WHAT?? SYUKURAN??” Rani nyengir.
“Iya.
Kan kamu udah gede Put. Mau sampai kapan pesta-pesta terus? Pertambahan umur
itu diikuti pertambahan tanggung jawab lho. Supaya bisa lebih dewasa. Lebih
baik dari sebelumnya. Kalau kita mengadakan syukuran kan minimal kita bisa
hemat, udah gitu dapat banyak manfaat. Bonusnya, kita jadi termotivasi untuk
jadi dewasa secara mental juga. Acara perayaan ulang tahun juga nggak melulu
harus hura-hura atau pesta kok. Sederhana juga bisa. Yang penting kan makna
nya.”
“Ya
deh, Bu Ustadzaaaah. Usulnya ditampung dulu. Oke guys, jadi undang artis yang mana nih?" lanjut Puput. Rani
geleng-geleng kepala. ***** Johny beringsut pada seorang remaja. Tanyanya, “Dek, ini ada apa
sih sebetulnya?”
“Oh, ini,” jawab si remaja lelaki berkumis rada lebat itu
tersenyum. “Lagi ada perayaan ulangtahun, Om. Semacam syukuran gitu. Apalagi
sebetulnya yang punya perayaan juga ulangtahunnya udah lewat. Gara-garanya
rumahnya kebakaran.”
Sesungguhnya Johny rada senewen disebut Om. Ya ampun, dia kan
masih seperempat abad. Tapi kekesalannya langsung menguar setelah mendengar
lebih lanjut kisah yang cukup membuat dirinya merasa terharu. Kali ini betulan
haru. **** Seminggu
lagi Puput ulang tahun. Yang ke-17. Puput riang bukan kepalang. Tak ia hiraukan
masakan lezat yang jadi menu sarapan pagi itu. Ia bahkan tak ambil pusing saat
Roki adiknya menyantap semua makanan di atas meja seperti serigala lapar.
“Pokoknya
harus dirayakan lebih spesial ya, Bunda!” rengek Puput untuk yang ke
sekian
“Iya,
beres.” bundanya menyahut pelan. Ia sedang menguncir rambut Puput yang sudah
semakin panjang.
Papanya
berdehem tanpa melepas pandangan dari koran yang sedang ia pegang. “Kan tiap
tahun juga selalu spesial.”
“Yang
ini harus yang paling meriah, Pa! Kalau perlu undang artis!” tambah Puput
“Sekalian
aja undang presiden. Terus pakai pengibaran bendera.” celetuk Roki sambil
menjilati jarinya yang belepotan selai coklat.
“Iiihhh,
jangan sembarangan! Ini perayaan ulang tahun Kakak yang ke-17. Bukan peringatan
17 agustusan"
Pagi
itu berakhir hangat.
Hari
ulang tahun Puput semakin dekat. Beberapa persiapan seperti dekorasi dan hiasan
ruangan mulai terpasang sedikit demi sedikit. Puput tentu saja yang paling
bersemangat. Ia mau terlibat langsung dalam seluruh prosesi perayaan ulang
tahunnya. Ia ikut memikirkan apa saja ide untuk dekorasi. Ia ikut menentukan
menu apa saja yang akan disajikan, siapa saja yang akan diundang, artis mana
yang akan didatangkan dan lain-lain.
Roki
ikut membantu. Walaupun sebagian yang ia lakukan justru mengacau. Tapi Puput tak
keberatan. Toh bisa diperbaiki lagi. Lagipula ia ingin adiknya juga ikut merasa
gembira. Sebagai seorang kakak, minimal ia harus mengalah pada adiknya.
Tapi
siapa sangka, dua hari menjelang acara, sebuah musibah terjadi. Rumah Puput
dilalap api tanpa sebab yang jelas. Kebakaran itu sempat membuat panik warga
satu komplek perumahan. Tapi untunglah, berkat usaha yang tanggap dan kerjasama
yang baik, api bisa segera dipadamkan. Sebagian rumah hangus terbakar, walaupun
tidak parah. Dan Puput sekeluarga
“Yang
penting kita semua tak ada yang kena luka bakar atau cedera.” ujar Papa saat
mereka membersihkan rumah dari sisa-sisa bekas kebakaran keesokan harinya. “Dan
untunglah, seluruh uang serta barang berharga di rumah kita aman. Jangan ada
yang sedih, ya! Insya Allah ini semua ada hikmahnya.”
Yang
lain mengangguk setuju.
Keesokan
harinya, Puput dan Roki kembali tak masuk sekolah. Malah teman-teman Puput yang
datang berkunjung sepulang sekolah. Rere dan Syasya menangis “Yang
tabah ya, Put.” Bisik Rani sambil ikut memeluk Puput.
“Iya,
makasih ya teman-teman.”
Tiba-tiba
Rere tersentak, “Pesta ulang tahunnya nggak jadi dong, Put?” Puput
menggeleng sedih.
Syasya
mencubit lengan Rere gemas. “Harus ya, nanyain itu ke Puput sekarang?"
“Nggak
apa-apa kok, Sya. Mungkin pesta nya kita adain tahun depan aja ya, Re? Ulang
tahun yang ke-18 kan juga masih istimewa.” ucap Puput sambil berusaha
tersenyum. ***** Terenyak.
Johny sekonyong-konyong merogoh dalam-dalam kantong jins. Dikutak-katik isi
ponsel cerdasnya yang berkondom ungu. Ia
baca lagi percakapannya dengan Prili di Line tadi. Prili:
“Sorry ya, Jon! Gue deket sama lo bukan karena gue
suka sama lo...”Johny:
“Terus karena apa? Kurang gue apa sih, Pril?”Prili:
“Johny... cukup deh, lo nggak usah pakai nanya alasannya kenapa?!” Johny:
“Emang kenapa sih, Pril? Gue berhak tau dong. Inget, gue ini cowok...”Prili:
“Yang bilang lo banci taman lawang siapa, John? Lagian, kalau lo emang pengen
tau alasannya. Lo dengernya ya, Jon. Lo itu banyak kekurangannya.Johny:
“Hah? Banyak? Segitu jeleknya gue ya, Pril?”Prili:
“Lo itu nggak jelek kok, John. Tapi, nggak juga ganteng. Ya, dibandingin sama
siamang, masih cakepan lo kok, John. Sumpah! John:
“Asem lo, Pril!”Prili:
“Gini ya, John. Emang sih lo itu baik, perhatian, dan sayang sama gue. Tapi...”Johny:
“Tapi apa?”Prili:
“Duh, Jon... gue beneran nggak enak bilangnya. Sumpah!”Johny:
“Nggak enak gimana coba? Tadi kan lo bilang kalau gue itu; baik, perhatian, dan
sayang sama lo. Terus, kurang gue dimana?”Prili:
“Kaki lo itu, Jon. Kaki!”Johny:
“Kaki gue kenapa? Buluan? Wajar kali kalau cowok punya bulu kaki...”Prili:
“......”Johny:
“Kok diem sih, Pril?”Johny:
“Please, Pril... lo mau ya terima gue jadi cowok lo...”Prili:
“Nggak bisa, Jon...”Johny:
“Oh, gue tau... lo pasti sudah balikan lagi sama si Digo-Digo itu kan, mantan
lo yang bau keteknya kayak bau kencur itu?”Prili:
“......”Johny:
“Tuh kan, buktinya lo diem lagi. Lo sudah balikan lagi ya sama Digo, Pril?”Prili:
“Yee... denger ya, John! Gue itu nggak pernah balikan lagi sama Digo. Dia itu playboy, Jon. Kan lo tau sendiri?!”Johny:
“Iya, gue tau. Terus alasan lo kenapa nggak mau jawab pernyataan cinta gue?”Prili:
“Oke, Jon. Daripada gue terus kasih harapan ke lo, mungkin ada baiknya gue
bilang ke lo sekarang...”Prili:
“Jon...”Johny:
“Ya, Pril?”Prili:
“Buset! Gue tadi itu nggak manggil lo... tapi, gue mau mendramatisir...”Johny:
“Yee... bilang dong, Pril!”Prili:
“Arrgghhhhh...”Johny:
“Lo kenapa, Pril? Kejedot?”Prili:
“......”Prili:
“Bukan, Jon. Bukan!”Johny:
“Oh...”Prili:
“Jon...”Johny:
“Ya, Pril!”Prili:
“Tuh kan, masih aja lo jawab. Sudah dibilangin, gue nggak manggil lo, Jon!”Johny:
“Sorry, Pril!”Prili:
“Jon...”Johny:
“.......”Prili: “Sorry banget,
gue nggak bisa terima lo jadi cowok gue. Karena...Johny:
“Karena?” Rasa-rasanya segala isi chat itu tak ada apa-apanya dengan apa
yang telah dialami si gadis bernama Puput itu. Jauh sekali perbandingan. Lagipula
masa dirinya kalah dengan anak SMA yang berbeda usia delapan tahun. Malu sama
usia. Malu pula sama fisiknya yang sebetulnya kekar, jika kita eliminasikan
perut buncit, dan bayangkan saja otot-otot yang menggumpal di kedua lengan
Johny.
Lebih
bikin bibirnya kelu waktu Johny mengamati seorang perempuan; mungkin sebaya
dirinya. Perempuan itu seorang difabel. Matanya pun masih belum siap menerima cahaya sore intensitas tinggi yang
hangat nanar sedikit. Melihat ke asal suara itu. Suara itu berasal dari dalam
panti asuhan – yang cukup dekat dengan pintu masuk panti asuhan. . Tidak jelas
apa yang diucapkan, beberapa kata terpotong di tengah, beberapa lagi seperti
berbicara sambil terisak tetapi tak jelas apa yang diucapkan. Hanya terdengar
“haha”, “awawa”, “huhu”. Persis seperti ucapan tunawicara.
“Itu,
si Ai (baca: A i),” sekonyong-konyong seseorang di belakang Johny, lirih mendesahkan
kalimat itu di dekat telingaku.
“A... siapa, Mbak?” jawabnya perlu penegasan.
Mungkin ia terlalu terkesan dengan kecantikan seorang Ai yang difabel.
“Ai, tunawicara yang tinggal di rumah ungu – di seberang itu.”
Johny mematung. Dirinya hanya sibuk
mendengarkan seseorang yang mengaku bernama Uti. Sesekali anggukan-anggukan
kecil ia perlihatkan. Sesekali, di lain waktu, ia menyusul Uti duduk di sebelah
perempuan yang pula mengaku sebagai sahabat karib Ai.
“…si Ai ini satu-satunya penghuni panti asuhan
yang seorang difabel. Dulunya. Sekarang dia
tinggal – “
“ – iya tahu, di rumah ungu itu kan,” potong
Johny, menunjuk rumah ungu di seberang.Uti tersenyum.
“Di rumah itu, ia cuma tinggal bertiga.
Dirinya, Mama Chen, dan suaminya. Tapi itu dulu. Mungkin karena belitan ekonomi
yang semakin mencekik dan juga tak tahan dengan keadaan Ai, suaminya memilih
buat minggat. Itu sekitar tahun 2002. Ai juga dulu sempat punya anak perempuan,
kalau nggak salah namanya Laili. Namun sayang, Ai harus kehilangan Laili karena
demam berdarah yang terlambat penanganannya. Itu waktu Laili masih usia empat
tahun. Sejak saat itu intensitas marahnya semakin banyak. Namun setelah dirinya
turut bagian di panti asuhan ini, emosinya mulai terkendali. Udah jarang
marah-marah.”
Pula Uti menjelaskan pada Johny untuk terus
bersyukur sama Gusti Allah karena telah diberi hidup dan keadaan yang sempurna,
lengkap, tidak kurang satu apapun. Kata Uti, jangan sekali-kali memandang
segalanya ke atas, karena kalau tersandung batu kerikil rasanya sakit. Jangan
juga mengeluh untuk hal-hal yang seyogyanya sepele, jikalau dibandingkan dengan
yang dialami Puput atau Ai.
Sebenarnya jika kita memandang ke bawah masih
sangat banyak kehidupan-kehidupan yang jauh lebih menyedihkan, teramat jauh
lebih menyakitkan daripada kehidupan kita yang selalu kita eluhkan ke Yang Maha
Kuasa. Bagaimana bisa seorang Ai yang tunawicara mengeluh? Mungkin Tuhan yang
fasih akan semua bahasa bisa dengan mudah mengerti. Tapi bagaimana dengan
keluarganya? Tetangga-tetangga yang lain? Kita yang orang normal saja terkadang
masih butuh orang lain untuk sekedar mendengarkan. Lalu, bagi Ai, apakah Tuhan
terlampau kejam? Untuk mendengarkan Ia bicara saja orang lain terkadang tidak
bisa. Sesungguhnya hanya Tuhan yang Maha Adil dan tidaklah pantas seorang
manusia seperti diriku ini selalu mengeluh-eluhkan soal keadilan. Allah pernah
bersabda, hukum yang seadil-adilnya adalah hukum Allah, tidak ada keadilan yang
melebihi yang diberikan oleh-Nya. Semoga selalu ditabahkan hati Ai yang mungkin
sudah terlanjur luka.
Puasa di minggu kedua ini cukup melelahkan,
ujian akhir semester ini penuh dengan komputer dan mini cafe yang harus disiapkan presentasinya ke dosen. Sangat cocok
dengan cuaca yang tidak menempatkan satu saja awan di atas tanah Bogor. Walhasil, pukul dua kurang lima belas, Johny terpaksa bangun
dari tidur siang. Itu juga terbangun gara-gara dering Line sialan dari si
Prili, si perempuan laknat berambut keriting yang penuh jerawat dan komedo.
Baru menjelang waktunya Isya, neuron otaknya mulai meregang. Suara
gaduh akibat pesta sweet seventeen
itu begitu memekikkan telinga; ditambah pula suara desingan benda tumpul
yang beradu dengan besi. Suara si Ai berkali-kali sayup-sayup di telinga dan
kesadaran Johny yang sudah kembali. Ia insyaf.
“Kenapa,
Mas?” tanya Uti.
“Nggak kenapa-kenapa, Mbak Uti. Cuman kasihan, plus miris juga kalau
dibandingin sama apa yang saya baru aja alamin.”
“Emang si Mas abis ngalamin apaan?”
Tak menjawab. Hanya tersenyum. Lalu melengos
begitu saja meninggalkan panti asuhan dan rumah ungu di seberang. Satu kilometer
dari panti asuhan, di dekat sebuah masjid yang mulai sesak karena jadwal
tarawih, ia menatap kesuraman malam, memekikan beberapa kata.
“Woy, Narator. Udahan ah kisahnya, gue mau
sholat taraweh dulu. Ntar di rumah, kita lanjutin lagi.”
* Cerpen
ini merupakan hasil kombinasi dari beberapa cerpen yang ditulis oleh beberapa
penulis. Ada “Ai”
yang ditulis oleh Andaka; “Another
Seventeenth Birthday” oleh Aul-Howler; “John
Jones: Ketika Nasib Jomblo Hampir Berubah (Hampir)” - nya Riyan Hasanin; “Hari Sabtu” yang
ditulis oleh Alethea Yoris; dan terakhir, “Warung
Bakso Mak Indun”- nya Sulung Lahitana. Aku tengah mencoba membikin sebuah
cerita baru dari beberapa cerita yang sudah beredar. Bagaimana hasilhnya?
Bagus, tidak, hasil kerjaku me-remake
ini? He-he-he.
aku baru baca sampai warung bakso keburu lowbat nih laptop :)
ReplyDeleteaku baru baca sampai warung bakso, keburu lowbat nih :)
ReplyDeletegood job! ini lu bisa bikin cerita yang fresh... salut. plot gue bisa jadi panjang gitu!
ReplyDeletePlot lu cuma jadi pengantarnya doang kok. Masih ada 4 plot dari penulis-penulis lainnya. Tadinya mau masukin cerita gue. Tapi ga nemu yang cocok aja, yang bisa disinkronin. Mungkin lain kali bisa. Hehe. Anyway thanks
ReplyDeleteSombong banget tuh si Prili. Tapi bener sik. Mana ada cewek yang sukak sama cowok bau. Wkwkwk :P
ReplyDeleteThank you for all of you who already read till end. ^_^
ReplyDeleteI do really appreciate,