“…Kalau
ada satu kesempatan, ‘kan kujadikan kau kekasihku. Kalau ada satu kemungkinan,
‘kan kupastikan kau kekasihnya ‘tuk terakhir kali…”
Feisal mengernyitkan dahinya, saat
akan memasuki ruang kelas 11 IPS 1. Siapakah yang sudah datang di sekitar jam
06.00 pagi seperti ini? Pakai acara menyanyikan lagunya Kahitna segala lagi.
Kalau
Feisal sendiri, ia datang sepagi ini karena hari ini gilirannya piket
membersihkan kelas. Sebetulnya juga, ia malas datang sepagi ini. Bayangkan
saja, ia harus bangun di jam 04.30, mengingat jarak rumah ke sekolahnya cukup
jauh. Berpuluh-puluh kilometer jaraknya itu. Ditambah lagi, ia sudah lumayan
sering diomeli dan terima hukuman dari Bu Shinta, wali kelasnya. Ia jadi jengah
dan memutuskan untuk datang pagi di hari piketnya, yaitu hari Senin.
Saat
ia sudah masuk di ruangan kelasnya itu, ia agak terkaget melihat hanya ada
Diwang, sahabatnya sejak kecil. Oh jadi
rupanya Diwang yang bernyanyi; bagus juga suaranya, pikir Feisal.
“Eh, Diwang, tumben lu datang
pagian.” sahut Feisal.
“Gue kan piket juga di hari ini.
Masak lu lupa?” kata Diwang tersenyum sambil sibuk menyapu lantai.
“Masak sih?” tanya Feisal tak
percaya.
“Ya elah, Bos, lihat aja tuh di
mading kelas.” jawab Diwang menunjuk mading yang dipajang di samping kanan
papan tulis berwarna hijau itu.
Ke sanalah Feisal bergegas. Ia
melihat-lihat daftar nama murid-murid yang piket, mulai dari hari Senin hingga
Jumat (Hari Sabtu, sekolahnya Feisal libur). Yah memang benar yang dibilang
Diwang. Hari ini yang piket ada enam orang murid. Ada Feisal sendiri, Diwang,
Oriana, Lenny, Eddy, dan Raka. Kebetulan atau tidak, yang piket hari ini
merupakan sahabat dari SD.
“Eh, lu bener juga, Wang.” kata
Feisal nyengir.
“Lagian lu sih datangnya telat mulu,
jadi nggak tahu deh nama anak-anak yang piket. Kali-kali perhatian dikit, kek.”
seloroh Diwang.
“Maaf deh, maaf. Kan lu tahu
sendiri, rumah gue lumayan jauh dari sini.” dalih Feisal defensif.
“Alasan aja lu. Raka aja yang
rumahnya lebih jauhan dikit dari rumah lu, masih bisa disempetin datang cepet
di hari senin.” serang Diwang ofensif.
“Iya, iya, bawel. Lu kayak cewek aja
dah bawelnya.” ledek Feisal. “Trus gue mesti lakuin apa nih?”
“Bantuin gue nyapu, gih. Lu nyapu bagian sana, soalnya yang itu
memang belon gue sapuin.” Diwang menunjuk ke arah jalur dalam labirin tempat
duduk yang belum disapunya.
“Oke, deh, Bos.” Feisal segera
mengambil sapu yang diletakan di pojok kanan depan kelas. Segera saja ia
menyapu jalur yang belum disapu oleh Diwang. “Oya, yang lain pada kemana?”
“Oriana sama Lenny lagi ngambil
kapur ke ruang Tata Usaha. Eddy ke kantin dulu, mau makan dulu. Doi blon
sarapan di rumah, katanya. Trus satu lagi, si Raka blon dateng.”
“Oooh…” kata Feisal yang sekarang
sudah sibuk menyapu debu dan kotoran yang berada di sela-sela bawah meja dan
kursi. “Oh iya, Wang. Ngomong-ngomong, itu lu yang nyanyi yah barusan pas gue
datang tadi?”
“Ya iyalah, kan cuma gue yang ada di
kelas. Lu gimana sih?” ujar Diwang nyengir dan masih tetap sibuk menyapu. Hanya
saja, kini ia sudah berada di dekat papan tulis; sebentar lagi akan berada di
dekat pintu masuk kelas.
“Gue baru tahu suara lu bagus juga,
Wang.”
“Ah lu ngeledek aja, Sal. Bilang aja
lu mau bilang suara gue itu fals, sumbang, dan gak enak didengerin, kan?”
“Serius, Wang. Suara lu lumayan
bagus. Lagian kan gue aktif nge-band,
so pasti gue tahu dong mana suara
yang bagus, mana suara yang jelek. Dan suara luitu masuk kategori yang pertama. Suara lu keren
abis. Sumpah dah.” kata Feisal meyakinkan Diwang kalau suaranya bagus dengan
menatap fokus Diwang.
“Oh gitu, kalau gitu, makasih deh
pujiannya.” ucap Diwang yang sekarang dia sudah berada di dekat pintu masuk
kelas. Tak terasa selesai sudah ia menyapu. Ia letakan kembali gagang sapu itu
ke pojok kelas.
“Gue serius lagi, Wang. Gak becanda.
Lagian suara bagus gitu, kok lu gak masuk ekskul paduan suara aja sih? Lu malah
masuk ekskul teater.”
“Gue gak pede, Sal. Tapi masak sih
suara gue bagus?” Diwang masih tak percaya dengan kualitas suara yang ia
miliki.
Di saat bersamaan, Oriana dan Lenny
masuk ke kelas. Oriana yang mengambil sekotak kapur tulis langsung meletakannya
di meja guru yang ada di pojok kiri depan kelas.
“Kalian berdua lagi ngobrolin apaan
sih?” tanya Lenny yang baru saja duduk di bangkunya yang berada di depan persis
papan tulis.
“Ini, Len, si Diwang lagi nyanyiin
lagunya Kahitna, pas gue dateng. Dan suaranya itu keren abis. Swear deh gue.” jawab Feisal yang masih
sibuk menyapu. Sedikit lagi, bagian wilayahnya akan selesai disapunya.
“Emang nyanyi lagu apa dia?” tanya
Oriana yang segera duduk di bangkunya yang berada di belakang Lenny.
“Judulnya kalau nggak salah, ‘Lebih
Dari Sekedar Cantik’,” kata Feisal.
“Wang, nyanyiin lagi dong lagunya
Kahitna itu. Gue penasaran sama suara lu. Masak iya sih, kata Feisal, suara lu
bagus?” pinta Oriana pada Diwang sudah duduk di samping Oriana.
“Iya, Wang, nyanyi dong.” timpal
Lenny memanas-manasi. “Nyanyi, nyanyi, nyanyi, nyanyi, nyanyi,….”
“Nyanyi sekali, Wang. Ayo, Wang.”
Feisal semakin mendesak Diwang untuk segera unjuk suara.
Diwang memerah mukanya. “Eee… Oke
deh gue nyanyi, tapi please, jangan
ngejekin suara gue yah?”
Ketiga sahabat Diwang sejak SD
itupun mengangguk, pertanda mereka setuju untuk tidak menertawakannya.
Seharusnya Diwang tahu teman-temannya itu tak akan menertawakannya suaranya
yang memang bagus.
Kemudian, mulailah Diwang
menyanyikan ‘Lebih Dari Sekedar Cantik’-nya Kahitna. Kali ini ia menyanyikan
lagunya utuh. Dari bait pertama, refrain,
hingga kalimat penutupnya. Kurang lebih sudah nyaris lima belas ia bernyanyi.
Tanpa ia sadari, ruang kelas 11 IPS 1 mulai ramai. Banyak murid yang sudah
masuk kelas dan terpana dengan kualitas suara Diwang barusan. Hingga selepasnya
ia bernyanyi, ia mendengar suara tepuk tangan yang riuh dan itu ditujukan
untuknya.
“Gila! Keren, Boi, suara lu itu.” .
“Cadas.”
“Mantep gila.”
“Dahsyat.”
“Bikin gue merinding dengernya.”
Begitulah segelintir komentar yang
baru saja ia dengar setelah bernyanyi tadi. Matanya terbelalak dengan muka
memerah waktu mendengar pujian-pujian tersebut. Masak sih suara gue sebagus itu, Diwang bergumam dalam hati.
“Keren, Wang, suara lu itu. Pokoknya
lu harus mau masuk paduan suara. Nanti gue bilang langsung ke guru
pembimbingnya, deh. Gue yakin, Bu Agustin pasti sepakat sama gue kalau suara lu
itu memang dahsyat.” ujar Oriana dengan mata berbinar-binar. Oriana sendiri
memang masuk ekskul Paduan Suara.
“Eee… gue ke toilet dulu yah,”
Diwang berjalan cepat menuju toilet dengan kedua pipinya masih memerah. Diwang,
Diwang, kamu itu merendah atau kurang percaya diri, sih?
Setelah Diwang pergi, Feisal
mengajak Oriana, Lenny, Edi, dan juga Raka yang datang sepulun menit setelah
Diwang mulai bernyanyi. Ternyata Feisal ingin merundingkan sesuatu dengan
keempat temannya itu terkait ulang tahun Diwang yang ketujuh belas bulan depan.
*****
Satu bulan pun sudah terlewati. Tak
terasa sudah tanggal 11 April 2013. Tanggal 11 April sendiri merupakan hari
ulang tahun Diwang yang ketujuh belas. Dan hari kamis itu, Diwang jengkel
sekali dengan ulah kelima sahabatnya itu. Waktu ia akan memundurkan sepeda
motornya di parkiran sekolah, tiba-tiba saja ia merasa kepalanya ditaburi
sesuatu. Mana agak lengket-lengket gimana
gitu. Ia pun menoleh dan ternyata…. kelima sahabatnya itu rupanya
memberikannya sebuah surprise khas,
yaitu melemparkan tepung terigu yang
dicampur dengan isi telur ayam ke kepalanya. Basah kuyup sekaligus bau deh sekujur tubuh Diwang. Untung saja,
itu dilakukan setelah kegiatan belajar mengajar berakhir.
Dengan bétenya, Diwang menyetarter sepeda motornya itu dan melaju dengan
kencang ke rumah. Nanti sajalah ia ganti
baju di rumahnya. Toh jarak rumahnya ke sekolah tak terlalu jauh. Dengan
menggunakan sepeda motornya, ia hanya butuh waktu tempuh tiga puluh menit saja.
Sesampai di rumahnya yang cukup
mewah, ia segera saja masuk kamarnya dan mengambil pakaian dari dalam
lemarinya. Saat itulah, terdengar suara ringtone
dari blackberry-nya. Terpaksa ia tunda
rencananya berganti pakaian di kamar mandi. Ia angkat panggilan yang masuk ke blackberry-nya itu.
“Halo…” sapanya terhadap suara di
ujung sana yang meneleponnya.
“Halo, ini dengan Diwangkaton
Ramadani?” Rupanya yang meneleponnya seorang pria. Sepertinya pria itu berusia
sekitar 20-.an dari suaranya itu.
“Yah, ini dengan saya sendiri,”
jawab Diwang.
“Oh ini mas Diwang sendiri yah?
Begini lho, saya hanya mau menyampaikan kepada Mas untuk segera datang ke
studio RCTI yang ada di Kebon Jeruk buat ikut audisi Indonesian Idol. Audisinya
itu dari jam sembilan pagi hingga jam lima sore, Mas.”
Diwang terperangah. Ia tak percaya
dengan apa yang didengarnya itu barusan. “Tapi saya nggak pernah mendaftarkan
diri di kontes itu.”
“Mungkin Mas lupa kali kalau sudah
daftar. Karena data-datanya Mas ada di kami sekarang.”
“Eee… “ Diwang agak kebingungan
untuk meresponnya kembali. Tapi akhirnya ia malah berkata, “Iya kali yah, saya
pernah daftar, tapi lupa. Oke deh, saya akan datang ke audisinya. Jam sembilan,
kan?”
Putuslah sambungan percakapan antara
Diwang dengan pihak dari ajang pencarian bakat Indonesian Idol itu. Sekarang
Diwang jadi kebingungan. Seingatnya, ia sama sekali tak mendaftarkan diri di
kontes itu. Lagipula mana berani dia ikut serta di ajang itu. Masuk ekskul
Paduan Suara saja, ia tak punya nyali; apalagi mengikuti ajang sebesar Indonesian
Idol itu.
Di tengah kebingungannya itu, blackberry-nya berbunyi lagi. Kali ini
ada nama Feisal di display-nya. Ia
segera mengangkat.
“Halo, Sal, Ada apa?” tanya Diwang
yang masih mengernyitkan keningnya.
“Halo, Calon Idola Indonesia.
Gimana? Udah ditelepon belom sama pihak Indonesian Idol -nya? Setahu gue, besok
kan audisinya, berarti kemungkinan kalau nggak kemarin, sekarang lu udah
diteleponin.” jawab Feisal di ujung sana.
“Oh jadi lu yah yang daftarin gue ke
sana?”
“Iya. Gue sama yang lainnya sepakat
buat daftarin lu. Tiga hari setelah daftar online,
kita berlima nganterin segala
persyaratannya ke studio RCTI. Itu tuh waktu kita ngerjain tugas Bahasa Indonesia.
Inget gak lu?”
“Oooh…. Yang kata lu semua minjem
KTP sama ijazah dan rapor gue itu yah?
Yang katanya buat tugas Bahasa Indonesia? Sialan lu pada!” ujar Diwang kesal
karena dikerjain.
“Sorry,
Wang. Habis kalau nggak begini, lu nggak akan sadar-sadar kalau suara lu itu
memang bagus banget. Dan lu harus buktiin itu nanti di depan para juri
Indonesian Idol nanti. Gue tunggu aksi lu yah di TV nanti. Bye.”
Feisal langsung mematikan teleponnya
dan membuat Diwang jadi geregetan. Haruskah
ia datang ke studio RCTI buat audisi Indonesian Idol itu?
*****
Walau sebetulnya ia agak malas dan
takut datang ke audisi Indonesian Idol tersebut, pada akhirnya ia sudah berada
di dalam gedung tempat pelaksanaan audisi tersebut. Ia ke sana dengan masih
mengenakan seragam sekolahnya. Hanya saja kini sudah tertempel nomor
pesertanya. 33200, yah itulah nomor pesertanya. Ia kini sedang duduk di salah
satu bangku dan melihat kontestan-kontestan lainnya yang sedang berlatih olah
vokal. Ia begitu mengagumi suara-suara mereka, walau ada juga yang sebetulnya
tak layak ikut serta.
“Eh, kenalin nama gue Toni, dari
Bekasi,” ucap kontestan cowok berambut panjang yang duduk di sampingnya. Ia
mengangsurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Diwang.
Diwang balas mengangsurkan
tangannya. “Gue Diwang, dari Tangerang.”
“Mau nyanyi lagu apaan ntar?”
“Gak tahu, gue bingung.”
“Kok bingung? Kenapa?”
“Yah soalnya gue gak ada rencana mau
ikut audisi. Gue didaftarin sama temen gue, soalnya.”
“Oh gitu… Gue saranin lu nyari lagu
yang aman-aman aja, sob, kalau mau lolos. Yah lagu-lagu yang nadanya nggak
terlalu sulit.“
Diwang agak sebal diremehkan oleh
Toni ini. Tapi di saat ia mau membalas ledekannya itu, namanya sudah dipanggil
dan segeralah ia masuk ke ruang audisi. Dan sekarang, di depannya sudah duduk
empat orang pelaku musik tanah air. Ada Ahmad Dhani, Anang Hermansyah, Rossa,
dan juga Agnes Monica. Siapa sangka ia bisa juga bernyanyi di hadapan para
penyanyi atau musisi sekelas mereka.
Dengan gugup, ia mulai bernyanyi. Ia
menyanyikan lagunya Selena Gomez yang berjudul ‘Love You Like a Love
Song’. Ia menyanyikan lagu tersebut utuh
dan di sela-sela ia bernyanyi, Ahmad Dhani terpekik girang. Kurang lebih ketika
ia menyanyikan bagian hook-nya.
“GILA! Suara kamu bagus banget. Saya
oke kamu maju ke tahap selanjutnya.” sahut Ahmad Dhani.
“Dan, dengerin dia dulu selesai
nyanyi. Jangan main potong gitu aja.” sela Anang Hermansyah dengan logat jowo medhok-nya.
“Yah tapi suara dia memang bagus
banget, Nang.” kata Ahmad Dhani yang segera mengambil selembar kertas karton
bertuliskan ‘SELAMAT’. Tanpa minta persetujuan juri-juri lainnya, ia
mengangsurkannya pada Diwang.
Melihat ulah Ahmad Dhani barusan,
baik Rossa, Agnes Monica, hingga Anang Hermansyah sendiri jadi tertawa. Sebetulnya
mereka ingin memberikan kesempatan pada Diwang untuk menyelesaikan lagunya, yah
walau benar kata Ahmad Dhani barusan. Jelas suara Diwang punya kualitas
tersendiri yang ia tak sadari selama ini karena ketidakpercayadirinya itu.
Setelah diijinkan keluar ruang
audisi dan benar-benar diyakinkan oleh semua juri ia lolos ke babak
selanjutnya, Diwang keluar. Di luar, ia berteriak histeris dengan air mata
mulai keluar dari kedua bola matanya itu. Siapa sangka tiket lolos ke babak
selanjutnya Indonesian Idol ini bisa jadi kado paling berharga buat ulang
tahunnya yang ketujuh belas.
Di depan kamera dan di depan host-nya – Daniel Mananta, ia berujar, “Thank to all of my friends yang sudah
mendaftarkan gue secara diam-diam ke kontes ini. Ini benar-benar Unpredictable Splendid Surprise banget.”
Aarrghh,.. Ada lagu kahitna...
ReplyDeleteKesempatan Diwang buat jadi penyanyi jadi terbuka lebar deh :D
ReplyDeleteBaru beberapa hari nggak ke sini, udah ada 4 fiksi baru aja.... Produktif bener lu.... :D
ReplyDeleteTrus akhirnya Diwang jadi juara Indonesian Idol nggak nih?
Asyik ya dia punya teman-teman baik yg perhatian gitu, hehe....
4 fiksi itu sebetulnya dibuatnya dari tahun lalu..... Buat dikirimin ke media.... Dan karena belum ada kabar, ya udah deh, diposting aja di sini.
DeleteHaha btw kalo audisi jurinya 3 doang loh bang
ReplyDelete4 itu kalau udah konser nya :p
Kan ini jatuhnya fan fiction. Hahahaa....
Delete