Artis. Asal katanya itu sebetulnya
dari kata “artist” dalam bahasa
Inggris yang artinya seniman. Dari situ, bisa diambil kesimpulan, artis itu tak
hanya bintang sinetron, bintang iklan, ataupun penyanyi saja. Kita bisa juga
menyebut artis untuk mereka yang… melukis, memahat, menulis, dan segala
pekerjaan yang berbau seni. Walaupun citra artis sekaeang ini hanya sebatas
seni akting atau seni musik.
Dan karena citra artis di dunia
akting inilah kisah ini bisa bermula. Adalah Malvin, seorang artis cilik (Oke
ralat, mantan artis cilik). Sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak, ia
sudah eksis tampil di layar kaca. Banyak produk yang sudah ia bintangi. Banyak
juga sinetron dan FTV yang sudah ia mainkan. Salah satunya itu, Bocah Spekta –
sinetron dengan rating tertinggi
semasa ia SD. Bayangkan saja, sinetron itu sudah berlangsung selama tiga tahun;
dan entah sudah berapa episode yang dibuat sutradara dan produsernya.
Hanya saja, pekerjaan artis itu tak
seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya yang identik dengan masuk pagi-pulang sore.
Sekali kita masuk ke dalam dunianya, kita serasa berdiri di atas sebuah roda.
Ungkapan ‘hidup itu seperti roda’ benar-benar kita rasakan. Itulah yang dialami
Malvin.
Tepatnya saat beranjak jadi seorang
remaja. Saat itu, di tengah kesibukannya syuting, bisa juga ia lulus SD dengan
nilai yang amat cukup memuaskan. Ia sukses masuk ke SMP favorit. Masa-masa awal
dia belajar sebagai pelajar putih-biru cukup berat, mengingat predikatnya
sebagai artis cilik. Ia sering jadi objek mata murid-murid dan guru-guru di
sekolahnya. Sesekali juga ia dimintai tandatangan atau permintaan foto bersama.
Tapi setelah berlangsung setelah dua
tahun, tepat setelah ia duduk di kelas sembilan, semuanya berjalan biasa saja. Normal . Tak ada yang
istimewa. Ia benar-benar jadi seorang manusia lagi. Apalagi saat tak
didapatkannya lagi tawaran main sinetron, FTV, ataupun iklan.
Bukan karena ia lebih memilih untuk
berkonsentrasi dengan studinya, hanya saja itulah dunia hiburan. Bagaikan
serigala berbulu domba. Hanya karena fisik dan suaranya sudah berubah, ia
dicampakan dan tergerus oleh bakat-bakat yang lebih yahud darinya.
Tapi Malvin selalu mencoba berpikir
positif. Baginya, tiadanya tawaran untuk main sinetron, FTV, film, atau iklan
merupakan suatu sinyal untuk lebih berfokus mengejar cita-citanya jadi pebisnis
dan membuka production house sendiri.
Kini.. Malvin telah berubah menjadi
remaja kebanyakan. Masuk sekolah di jam tujuh pagi, pulang di jam satu siang,
tidur siang selama dua jam, main bersama teman-temannya di sore hari, dan
segala rutinitas khas seorang anak kelas sembilan. Ia benar-benar sudah
terlempar dari dunia keartisan.
Saat ini pula, ia sedang berada di
rumahnya. Tepatnya di dalam kamarnya yang serba sporty. Seprai berlogo klub sepakbola asal Inggris Manchester
City . Poster-poster
bergambar pemain-pemain sepakbola ternama. Beberapa action figure pemain sepakbola di atas rak buku atau meja
belajarnya. Terakhir, selain isi rak pakaiannya yang banyak jersey, hampir kaset playstation-nya berbau olahraga,
khususnya sepakbola.
“Mar,” sahut Malvin pada teman
sekelasnya yang duduk bersila sambil memainkan joystick - sama seperti dirinya.
“Kenapa, Vin?” tanya balik Damar.
“Gue lagi asyik main nih.”
“Gue kangen.” kata Malvin singkat
sembari matanya tetap fokus pada game Winning
Eleven yang terpampang di layar televisi.
“Kangen kenapa?” tanya Damar lagi
yang matanya juga terfokus ke layar televisi.
“Kangen sama dunia entertainment. Tiba-tiba aja gue kangen
main sinetron atau iklan lagi. Gue juga merindukan teman main gue di Bocah
Spekta. Yah lu tahu sendiri kan
pemerannya siapa aja.”
Malvin tak keberatan saat Damar
menghentikan sementara pertandingan semu mereka di Winning Eleven. Selanjutnya
Damar menyeringai Malvin. Ia cengar-cengir menatap temannya.
“Lu kangen sama Ranty, yah? Itu tuh
yang jadi Della di Bocah Spekta.” sindir Damar nyengir. “Gue inget banget, dulu
pernah digosipin pacaran sama dia, kan ?”
“Ngaco lu..” tepis Malvin. “Nggak
hanya Ranty aja kok yang gue kangenin, tapi seluruhnya. Si Ranty-nya, si
Malik-nya, si Febby-nya, sutradaranya, produsernya; terutama suasana syutingnya
itu, bro. Gue kangen banget bisa
akting di depan kamera.”
“Ya udah, cuy, ikut lagi aja
syuting,” ucap Damar dengan lancarnya.
“Nggak segampang itu masalahnya,”
sergah Malvin. “Lu tahu sendiri, gue udah bukan bocah imut-imut kayak dulu
lagi.” Malvin berkata seperti itu tanpa maksud menyombongkan diri. “Tinggi gue
aja udah 165 cm. Suara juga udah pecah. Udah muncul kumis juga nih.” Ia
menunjuk pada sejumput kumis di atas bibirnya.
Damar nyengir. “Ya élah, cuy. Pede
aja lagi. Mana nih Malvin yang dulu sering gue lihat di tivi-tivi. Malvin yang
selalu tampil penuh percaya diri itu.”
Malvin senyum alakadarnya saja.
“Vin, lu tahu nggak? Akhir-akhir ini
lagi booming sinetron-sinetron
remaja.”
“Jadi sekarang lu nontonnya sinetron
nih? Katanya sinetron itu sampah semua.” ledek Malvin.
“Gak usah dibahas, deh.“ Damar
kembali nyengir. “Yang jelas, ini kesempatan lu untuk balik lagi ke dunia yang
pernah mengangkat nama lu itu.”
“Tapi apa iya gue bakal diterima?
Apa iya gue masih laku?” Malvin skeptis. “Gue
udah nyaris tiga tahun nggak tampil di televisi lagi.”
“Jangan menyerah sebelum mencoba,
cuy.” kata Damar menepuk bahu Malvin. “Besok gue temenin lu deh ke PH yang lu
tahu. Lu masih inget kan
tempatnya?”
“Masih sih, cuman berharap aja
tempatnya nggak pindah,” jawab Malvin.
“Besok gue temenin lu ke sana . Selain nemenin lu
syuting, gue juga penasaran sama suasananya, cuy. Dulu waktu kita masih SD, lu
nggak pernah ajak gue ikutan sih.”
Malvin geli mendengar kalimat
terakhir Damar barusan..
“Dan sekarang kita main lagi aja
dulu.,” Damar menghidupkan kembali permainan Winning Eleven tersebut. “Besok
sepulang sekolah, kita berangkat casting.”
*****
20 Desember 2012. Sepulang
menyelesaikan ujian Matematika dan Ujian Bahasa Indonesia, Malvin bersama
sahabat masa kecilnya, Damar bergegas pergi ke production house yang dulu pernah mengorbitkan namanya: New Star
Production. Untung alamatnya masih sama seperti dulu. Belum berpindah tempat.
Yang berbeda itu hanyalah kondisi bangunannya. Tampak gedungnya itu sudah
berganti cat – dari berwarna putih menjadi krem. Hanya itu saja; sisanya masih
sama. Masih ramai dikunjungi oleh orang-orang yang mau casting atau keperluan lainnya. .
“Cuy, lu kayaknya benar-benar
dilupakan yah?” bisik Damar pada Malvin yang duduk di samping kanannya.
“Makanya kemarin gue bilang juga
apa. Apa iya gue bisa lolos casting?
Jangan-jangan kemampuan akting gue malah udah hilang lagi?” balas Malvin sambil
berbisik.
“Pede aja, cuy. Akting itu kan bakat alami lu,
nggak mungkinlah hilang begitu saja.” kata Damar mengepalkan tangannya di
hadapan Malvin.
Di saat bersamaan, seorang gadis
cantik yang duduk di sebelah kirinya menyapanya. Gadis itu berambut panjang dan
berwajah tirus. Mata gadis itu agak sipit dengan hidungnya yang meruncing
indah. Gadis yang sepertinya sebaya dengan mereka berdua ini tersenyum manis.
Hal itu membuat mereka berdua jadi tersenyum kikuk.
“Maaf,” kata gadis itu. “Kamu
Malvin, bukan?”
Malvin mengangguk. “I-iya…
Be-benar…”
“Si Jojo, Bocah Spekta?” kata gadis
itu memelototkan kedua bola matanya.
Malvin tak menjawab, hanya
mengangguk dengan takut-takut. Dalam hatinya, senang juga masih ada orang yang
ingat siapa dirinya. Ada
secercah optimis dalam dirinya untuk bisa masuk ke dunia akting lagi.
Gadis itu tersenyum. Dengan mata
berbinar-binar, ia mengangsurkan tangannya yang mulus pada Malvin. Malvin balik
mengangsurkan tangan; dan Malvin bersama gadis itu saling berjabat tangan.
“Aku Ranty. Ranty Marcella, lawan
mainmu di Bocah Spekta. Masih ingat, kan ?”
ujar Ranty.
Malvin memainkan jari telunjuknya di
hadapan Ranty. “Oh Ranty? Si Anty, yang dulu tiap syuting selalu nangis dan
bikin pusing para kru itu?”
Rany nyengir. “Gak nyangka lu masih
inget gue ternyata. Bahkan inget nama panggilan gue waktu kecil dulu.” Terjadi
perubahan gaya
bahasa dari Ranty sewaktu Malvin mengenali dirinya.
“Justru gue yang harusnya bilang
gitu lagi,” kata Malvin. “Oya, lu mau ikut casting
juga.”
“Iya. Sama kayak lu juga, gue kangen
suasana syuting lagi.”
“Tahu aja lu gue kangen,”
“Yah habis apalagi dong yang bikin
artis cilik yang dulu ngetop itu datang kembali ke kantor PH, setelah lama tak
muncul di televisi.” seloroh Ranty.
Martin nyengir – tapi mulai agak
terlihat jadi terkekeh-kekeh sendirian.
“Oya, Ran, kenalin ini sahabat gue
dari kecil, Damar.” Malvin memperkenalkan Ranty pada Damar. “Damar, ini Ranty –
lawan main gue dulu di Bocah Spekta,”
Ranty dan Damar saling berjabat
tangan.
“Nggak nyangka yah? Ranty yang
imut-imut, sekarang jadi secantik ini.” Damar mulai mengeluarkan bakat
menggombalnya. Mendengar itu, Ranty jadi bersemu merah jambu pipinya.
“Mulai deh lu gombalnya,” celetuk
Malvin.
Selesai berjabat tangan, Ranty
berkata lagi pada Malvin: “Vin, FB lu ditutup yah?”
“I-iya. Waktu gue kelas tujuh, ada
yang nge-hack akun gue, dan sejak itu
gue mutusin nggak main FB lagi. Akun yang di-hack itu juga udah gue report
as spam.” jawab Malvin.
“Oh gitu,” respon Ranty. “Anak-anak
di Bocah Spekta berusaha menghubungi lu buat ajak reunian lusa nanti. Kami
semua agak kesulitan menghubungi lu. FB tutup, nomor lu ganti pula. Untung si
Febby punya nomor bokap lu. Bokap lu kan
yang jadi manajer lu dulu?”
Malvin mengangguk.
“Febby, dua hari yang lalu, udah
kasih tahu gue kalau dia udah ngasih tahu bokap lu soal acara reuni kita. Lu
udah dikasih tahu belum?”
Malvin menggeleng.
“Mungkin nanti malam kali. Soalnya
Feby bilang, kata bokap lu, lu lagi ujian. Mungkin doi takut kabar itu jadi
rusak konsentrasi lu di sekolah.”
“Mungkin juga,” kata Malvin
mengiyakan. “Memang acaranya dimana?”
“Di Sky Dining – Plaza Semanggi, jam
18.30.” jawab Ranty tersenyum.
“Tanggal 22, jam segitu, gue bisa
kok datang. Apalagi hari ini juga hari terakhir gue ujian.” ucap Malvin dengan
mata berbinar-binar. Akhirnya setelah sekian lama, ia bisa bertemu dengan
kawan-kawannya di Bocah Spekta dulu.
“Oya, kayaknya bisa tuh acara
reuninya itu jadi acara natal juga. Tiga harinya kan natal?!”
“Rencananya sih begitu.” ujar Ranty
tersenyum. “Makanya lu beneran datang yah ke acaranya. Rencananya juga, kami
mau adain acara tukar kado.”
“Pasti lah ,” Ada kesungguhan di balik mata Malvin. “Asal
lu tahu, selama dua bulan ini, gue kangen sama suasana syuting dan sama
teman-teman gue di Bocah Spekta.”
“Mungkin karena lu dulu eksis banget
yah di televisi. Nyaris tiap iklan, ada muka lu. Makanya lu kayak gak bisa
terima saat ketenaran memudar.” seloroh
Ranty.
Malvin terkekeh-kekeh.
Di saat ia mulai menikmati
nostalgianya dengan Ranty, terdengar di telinga, namanya dipanggil oleh salah
satu karyawan PH. Ia berjalan menuju ke ruangan casting.
“Malvino Adam Tapiheru?” kata
karyawan tersebut.
Malvin mengangguk.
“Eh sebentar deh, kayaknya saya
kenal kamu, deh,” Karyawan bertubuh sedikit gempal itu menahannya masuk. “Kalau
nggak salah, kamu Jojo, kan ?
Yang ada di sinetron Bocah Spekta?”
Malvin mengangguk lagi.
“Waaah…” Karyawan itu menjerit
girang. Hampir seisi ruang tunggu jadi memperhatikannya dan Malvin. “Nggak
nyangka deh, saya bisa ketemu mas Jojo. Tahu gak, Mas? Saya dulu suka nontonin
sinetron Mas.”
“Makasih.” kata Malvin dengan kedua
matanya mulai berkaca-kaca. Ia mulai terharu. Apakah ini suatu pertanda ia akan
bisa kembali lagi ke lokasi syuting?
“Mari Mas, saya antar ke ruang casting-nya. Ini suatu kehormatan bagi
saya bisa membawa mantan artis cilik kembali ke ruang casting lagi.”
Malvin pun setengah diseret oleh
karyawan tersebut ke dalam. Saat di dalam ruangan tersebut, siapa sangka para
kru yang bertugas di bagian casting
mengenali dirinya lagi.
“Hey,” sahut salah satu kru. “Ini si
Jojo, kan ?
Yang main di Bocah Spekta dulu?”
“Wah siapa sangka kita kedatangan
mantan artis cilik yang dulu pernah kita orbitkan.” timpal kru yang lainnya.
Walaupun dunia akting sudah lama
dirindukannya, Malvin tetap saja kikuk berhadapan dengan perlakuan para kru di
ruang syuting. Ingat, dia sudah lama tak tampil di layar kaca televisi lagi.
“Oke, saya rasa kamu sudah tahu kan harus ngapain di sini?”
ucap salah satu kru yang sepertinya ketuanya. “Nih ambil script-nya, pelajari sebentar, dan mulai berakting di depan kami
semua. Bisa, kan ?”
Malvin mengangguk seraya beringsut
ke arah para kru dan mengambil script
itu. Mulailah ia berakting sesuai dengan isi naskah skenario tersebut. Terbukti
kekhawatiran Malvin salah besar. Kemampuan aktingnya masih bagus. Beberapa kru
yang jadi ‘juri’nya itu beberapa kali mengangguk-angguk alih-alih terkesima
dengan penampilan aktingnya. Di saat
terakhir, para kru sepakat Malvin lolos casting
dan mendapatkan peran utamanya.
Martin pun meloncat-loncat
kegirangan keluar ruangan. Ranty dan Damar yang melihatnya tahu Malvin diterima
dari perilakunya itu. Mereka berdua sama-sama memberikan ucapan selamat pada
Malvin.
Berulang kali Malvin merapalkan
sebuah doa. Siapa sangka kerinduannya akan dunia yang begitu akrab dengannya
semasa bocah dulu bisa terbayar sudah. Tak hanya bisa bereuni dengan
teman-temannya di sinetron Bocah Spekta yang ia dulu pernah mainkan, ia juga
berhasil mendapatkan peran utama di bakal sinetronnya nanti. Ini benar-benar
menjadi kado natal terindah yang pernah ia dapatkan selama ini.
This
is the best Xmas of my life, tutur Malvin dalam hatinya.
Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^