Maaf saja kalau aku akhir-akhir ini hampir jarang sekali me-review film atau acara televisi Indonesia. Maaf kalau aku jadi tak nasionalis sama sekali. Tapi memang benar kata pepatah latin itu: "De Gustibus Non Est Disputandum". Soal selera, itu tidak dapat diperdebatkan. Bahkan tak ada kaitan sama sekali dengan persoalan nasionalisme atau patriotisme.
Apalagi, nih, kalau mau jujur, aku sebetulnya ini penikmat sinetron. Aku dari kecil sudah sering sekali menyimak acara-acara televisi Indonesia. Dimulai dari "Keluarga Cemara" yang penayangannya itu digempur oleh tayangan-tayangan kuis hingga sinetron terakhir itu yang kutonton ialah sinetron dari si Cantik nan Menggemaskan yang bibirnya minta dicium banget Nikita Willy.
Akhir-akhir ini suka memasang kanal Indonesia walaupun di rumah ada kanal-kanal asing lainnya. Tapi makin lama dilihat, kok acara-acara televisi tanah air jadi makin semrawut. Story line sinetron dan FTV yang beredar nyaris seragam, jarang menyiratkan hal positif nan bermanfaat, predictable, dan--maaf--terkesan mencari duit. Benar kata teman blogger-ku, John Terro.
"Dorama Jepang emang sarat makna, Nuel. Bukannya gak bangga sama sinetron Indonesia, lho. Ane tahu bikin sinetron itu gak gampang, tapi sinetron Indonesia terkesan kejar tayang dan gak serius." - John Terro pada postingan "Kekkon Dekinai Otoko".
Lantas kalau sinetron dan FTV Indonesia sudah seperti itu, sepertinya berat sekali untuk mencoba tonton dan menyukainya. Yang bikin gemas lagi, saat tahun 2013 silam, pernah aku masuk ke beberapa grup dimana para sineas juga muncul di sana. Astaga, Ya Tuhan Yesus, geregetan, deh, tahu bagaimana pemikiran mereka. Asli geregetan, pengin nampol tapi takut kena jerat hukum. ROTFL!
Pernyataan-pernyataan mereka di grup itu seolah seperti tak ada niat untuk mengubah keadaan. Tetap saja mereka lebih mengikuti kemauan bos-bos televisi hanya demi menjaga dapur tetap mengebul.
Okelah, selera kebanyakan masyarakat Indonesia memang seperti itu. Kebanyakan dari kita mungkin amat menggemari cerita soal perebutan kekuasaan/harta, cerita cinta yang menjual mimpi (dimana baru bertabrakan, langsung jatuh cinta), atau seorang pemuda yang belum berusia dua puluh lima tahun pun sudah bisa memegang jabatan penting di sebuah perusahaan. Bahkan, latar tempat pun sungguh mengelus-elus dada Kezia Karamoy. Riset seadanya, tapi sudah langsung dieksekusi. Bayangkan saja, ada sebuah ruang rumah sakit yang begitu sederhananya. Lebih mirip kamar kosan.
Untuk ukuran film, masih agak lumayan. Kita eliminasikan saja beberapa film dengan story line atau latar yang... errr, gimana yah ngomongnya... tak memenuhi ekspektasi beberapa di antara kita. Sudah maju beberapa langkah dari sinetron dan FTV Indonesia yang sepertinya tak bisa diselamatkan lagi. Banyak, lho, sekarang ini, film-film Indonesia yang wah. Maksudnya, wah bagusnya, dimana ukuranku adalah story line dan cara pembuatannya. Tapi tetap kecemerlangan film-film Indonesia akhir-akhir ini belum bisa menandingi film-film luar. Tak usah jauh-jauh ke Hollywood deh. Untuk bersaing di level Asia saja, yang mana bersaing dengan tetangga saja--yaitu Thailand, Indonesia masih kalah saing. Sorry, it listens rude. But I think, my opinion is kind of sample of the mostly Indonesian people's voice.
That's why, aku jarang sekali me-review film-film Indonesia. Sebetulnya ada niat untuk me-review. Beberapa aku sudah menonton. Seperti "Tabula Rasa", "Danau Hitam", "Di balik 98", dan "Merry Riana The Movie". Film-film itu bagus-bagus, kok, menurutku. Idenya keren, story line enak disimak, dan ada beberapa unsur sinematografi yang kusukai. Tapi masih belum begitu cemerlang sampai aku harus menulis review soal mereka di Immanuel's Notes. Tapi aku janji, deh, kalau menemukan satu film Indonesia yang layak di-review banget di Immanuel's Notes, pasti akan langsung kubikin review-nya. I promise!
Oke, kita balik lagi ke soal acara televisi Indonesia!
Terkadang tiap menonton beberapa acara televisi luar atau menonton drama-drama televisi dari beberapa negara, lalu menolehkan kepala sejenak ke kanal Indonesia, sumpah deh--mau menangis darah rasanya. Bedanya itu seperti saat sang empunya Immanuel's Notes berusaha dimirip-miripkan dengan Andrew Garfield (Oke, ambil kantong kresek dan muntah sebebas-bebasnya!). Jauh sekali bedanya. Dan mungkin pikiran delusional sampai muncul. Hayo ngacung, pasti di antara kalian ingin melihat Indonesia bisa memproduksi drama televisi yang sekelas "How I Met Your Mother". Atau kalau level Asia itu, yah seperti drama televisi dari Jepang yang akan ku-review ini.
Drama "Good Life~Arigatou, Papa. Sayonara" ini memiliki story line yang luar biasa ciamik. Apalagi memang drama yang mengudara kali pertama pada 9 April 2011 ini memang diangkat dari sebuah novel berjudul "Kashigoki" yang ditulis oleh Cho Chang-In. Novelnya sempat menjadi best-seller.
Adapun drama ini bercerita mengenai sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan satu orang anak. Yang mana sang ayah itu seorang jurnalis di sebuah harian lokal. Karena kesibukan seorang wartawan, sang ibu jengah. Main pergi begitu saja meninggalkan sang anak yang masih seorang pelajar SD. Buntutnya sang ibu minta cerai. Sang ayah menyetujui, namun hak asuh tetap sang ayah yang pegang. Beberapa lama berselang, mungkin karena luka batin, sang anak jadi begitu lembeknya. Plus gara-gara perceraian kedua orang tuanya, Waku jadi sering dirundung dan akhirnya sebuah kecelakaan di sekolah telah mengantarkannya menjadi seorang pasien leukemia.
Memang yah, manusia seringkali tersadar akan pola pikir atau cara hidupnya yang keliru jikalau Tuhan menggunakan cara-cara pahit. Itulah juga yang menimpa pada kedua orang tua Waku. Ayahnya lalu memutuskan untuk berhenti jadi jurnalis. Ibunya pun sama, mulai lebih sering meluangkan waktu untuk Waku setelah sekian lama fokus terhadap dunia baru yang ia geluti: dunia lukis. Lebih epiknya lagi, di sini yang diceritakan terkena kanker, bukan hanya Waku; ayahnya juga kelak akan divonis mengidap kanker pankreas.
Wah, dari penggalan cerita yang kutulis, pasti kalian merasa sedih, bukan? Jujur saja, waktu mau menuliskan saja, aku kembali ingin menitikan air mata. Drama ini sungguh sedih, sungguh mengharukan, pun sungguh menginspirasi. Banyak pelajaran hidup yang bisa kalian dapatkan dari drama yang disutradarai oleh Cho Chang-In, Satomi Oshima, dan Tomomi Okubo ini. Salah satunya itu tentang karma. Dengan ciamiknya, para sutradara merangkai bagaimana proses karma itu berjalan. Saat sang ibu yang memutuskan untuk berpisah, namun kelak harus menyesali akibat Waku yang lebih memilih untuk hidup bersama ayahnya. Kecintaan Waku pada ayahnya jauh lebih besar daripada ke ibunya.
Tak hanya soal story line yang benar-benar luar biasa, drama yang tayang di Fuji TV ini sungguh serius dikerjakan. Total. Baik itu untuk akting tiap pemeran (Walau untuk pemeran Waku sendiri, akting si bocah masih harus diasah lagi) maupun untuk sinematografinya. Latar demi latarnya itu benar-benar diperhatikan secara detail. Proses pengobatan kanker dipertunjukan secara gamblang, sehingga kita bisa mengetahui bagaimana prosesnya. Alhasil, kita tak sekadar menonton. Tapi kita juga bisa sekalian belajar dari drama ini. Drama ini banyak disusupi oleh beberapa hal yang kita perlu ketahui--yang mungkin jarang terekspos. Contoh lainnya itu soal profesi CLS.
Saking seriusnya dibikin, gila deh, bahkan para sutradaranya itu tak segan-segan untuk memasukan dialog berbahasa Korea dan Inggris. Karena memang ceritanya Waku akan mendapatkan pertolongan dari negeri Ginseng. Meskipun bahasa Inggris-nya itu terkesan kaku. Mungkin memang disengaja. Sebab kita tahu bagaimana payahnya kemampuan berbahasa Inggris untuk sebagian besar masyarakat lokal Jepang yang amat mencintai bahasanya sendiri.
Last but not least, kalau ada waktu silakan cari drama "Good Life~Arigatou, Papa. Sayonara" di situs-situs streaming. Silakan cari unduhannya di beberapa situs atau blog yah. Dijamin, deh, kalian tak akan pernah menyesal untuk menontonnya!
Sekali lagi, kapan ku punya pacar, dan terus berdengung-dengung di kepala akibat pengaruh menonton drama ini: "Kapan Indonesia bisa bikin drama televisi yang sekeren ini, baik secara cerita maupun sinematografi?"
RATE: 90 / 100
Genre: Family
Sutradara: Cho Chang-In, Satomi Oshima, dan Tomomi Okubo
Jumlah episode: 11
Pemain: Takashi Sorimachi, Haruka Igawa, Amon Kabe, Tsuyoshi Ihara, Nana Eikura....
Tanggal tayang: 9 April 2011 - 28 Juni 2011
* gambar-gambarnya merupakan hasil capture
woww.... dari yang kamu ceritakan ini sepertinya menarik memang kebanyakan penyakit yang di ambil untuk sebuah film adalah leukemia..
ReplyDeleteBalum pernah nonton.. drama jepang saya memang kurang tahu..
Nurdiana.web.id
Ah.. Sedih.. :(
ReplyDeleteSalah satu penyakit kanker yang faktanya banyak yang mengalami.. :(