Genre: Fantasi
Segalanya berubah. Ricky memandangi tubuhnya. Warna bagian demi bagian tubuhnya sudah berbeda. Kali ini terasa samar-samar. Warna kulitnya meremang. Badannya terasa enteng. Badan? Oh tidak, ini bukan badan. Ricky sadar itu. Ia sudah tidak memiliki raga lagi. Sekarang dirinya sudah berbentuk roh sepenuhnya.
Ricky pun menoleh ke belakang. Ia tercekat. Mendapati tulisan itu, ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Susah payah ia berusaha untuk menahan agar jangan sampai turun. Bagaimanapun opanya selalu bilang bahwa lelaki itu pantang menangis. Lelaki itu harus selalu terlihat tegar. Harus kuat, tidak boleh lembek.
Tapi sepertinya Ricky begitu susah untuk tidak terisak. Walaupun harus menggigit bibir bawah, air mata tetap membasahi pipi. Air mata? Ricky kan sudah tidak memiliki raga. Sudah tak ada lagi organ yang bisa menghasilkan air mata. Tapi ya sudahlah, anggap saja seperti itu. Wajah Ricky tetap memperlihatkan bahwa dirinya memang sedang bersedih.
"Hihihi..." Suara perempuan mengikik. Ricky balik badan. Telah berdiri se---... oke, sebaiknya kita tak usah pakai kata sandang seorang atau sebuah. Itu bikin bingung saja, baik penulis maupun pembaca.
Perempuan arwah yang tampak cantik. Rambutnya pendek. Benar-benar pendek, sehingga membuatnya terlihat seperti seorang laki-laki. Walau begitu, perempuan itu memang cantik. Bola mata itulah yang membuat si perempuan jadi begitu memesona. Aura feminim masih terlihat.
"Hei, hantu baru." sahut si perempuan hantu sembari mengunjurkan tangan. Ragu-ragu Ricky mengangsurkan tangannya. Tapi si perempuan memaksa sekali untuk berjabat tangan. "Kenalkan, namaku Chrissella. Aku sudah lama menjadi hantu. Ini tahun kelimaku. Dan aku meninggal karena kanker. Soal wujudku ini, aku sengaja memilih wujud seperti ini. Karena gara-gara rambut pendek inilah, Papa dan Mama jadi akur lagi. Hahaha, kok aku malah jadi melankolis yah? Maaf, maaf. Aku selalu seperti ini jika berbicara kehidupan manusiaku.Oh iya, kamu sendiri, apa yang menjadi sebabmu?"
Ricky termangu. Wajahnya masih terlihat muram. Ia tertunduk. Mau sampai berguling-guling di tanah pun, tetap ia tak bisa menemukan jawabannya.
Melihat ekspresi Ricky, Chrissella jadi terbahak. "Aku tahu, aku tahu. Kamu pasti bunuh diri kan."
"Bu-bunuh diri?" Dua kata itu membuatnya seperti tersentak. Jujur saja, semasa kecil Ricky begitu membenci orang-orang yang gemar mengakhiri hidupnya sendiri. Menurutnya, orang-orang seperti itu tak menghargai sesuatu berharga yang Tuhan berikan. Dan sekarang, oh tidak, perempuan ini pasti bohong.
"Aku tidak bohong kok."
Perempuan ini bisa membaca pikiranku, pikir Ricky bingung.
"Ya iyalah. Kita kan hantu. Hantu sudah tidak mempunyai raga lagi. Kita sudah tidak mempunyai otak lagi. Jadi segala pikiran yang kita utarakan, akan segera tersampaikan. Bagus kan. Karena menurutku, ini jadi komunikasi paling efektif."
Ricky masih terbengong-bengong. Chrissella nyengir.
"Oh iya, kembali ke soal bunuh diri itu, kamu perlu tahu bahwa sudah banyak kasus di pemakaman ini yang seperti kamu. Kebanyakan mereka yang bunuh diri, pasti tidak bisa mengingat segala memori sewaktu masih menjadi manusia. Dan masa recovery-nya itu paling cepat sebulan. Syaratnya, hantu itu harus lebih sering bertualang dan mencari-cari segala jejak yang menghubungkannya dengan memorinya sebagai manusia."
"Ya sudah yuk, mari ikut aku menemui teman-teman kita yang lain. Tenang saja, mereka semua baik-baik. Mereka semua bersahabat. Walaupun ada beberapa yang menyebalkan."
Chrissella menyeret tangan Ricky yang masih belum bisa menerima kenyataan yang datang padanya. Dengan lesu, Ricky berjalan mengikuti tuntunan perempuan itu. Ah, andai Chrissella masih hidup, Ricky menduga bahwa perempuan ini pasti memiliki tangan yang begitu lembut sekali. Mungkin lebih lembut dari sehelai sutra.
Chrissella menatap kembali Ricky. Perempuan itu menyimpulkan senyuman jahil. Ricky tersinggung. Ketusnya: "Apa?"
ISO 200, bukaan 5.6, dan shutter speed 1/50 |
"Kamu tahu, kamu terlihat seperti seseorang yang memendam kesedihan yang begitu dahsyat selama kurun waktu yang lama sekali. Hahaha... Laki-laki oh laki-laki. Kenapa kebanyakan laki-laki itu selalu saja enggan untuk menangis? Mereka baru bisa menangis kalau tak ada satu pun yang melihat. Kadang untuk kondisi seperti itulah, aku merasa perempuan itu jauh lebih tangguh daripada laki-laki. Karena kenapa? Perempuan itu tak pernah sungkan untuk menunjukkan air matanya ke dunia. Kebanyakan perempuan juga lebih jujur; dan kejujuran itu sangat mulia. Kami tidak semunafik laki-laki. Kalau lemah, kami menunjukan bahwa diri kami memang lemah. Kalau kuat, akan kami tunjukkan. Beda dengan kaum laki-laki yang sok terlihat kuat." pungkas Chrissella yang sorot matanya sungguh menyala-nyala. Kebahagiaan sangat terpancar.
"Kamu ini bawel sekali. Papa-mu itu bukan seorang pemuka agama, kan?" kata Ricky nyengir, defensif.
Chrissella menggeleng. "Bukan kok. Aku malah berharap Papa itu seorang pendeta. Mungkin jika beliau jadi seorang pendeta, dia bisa sadar secepatnya bahwa keluarga itu jauh lebih penting daripada posisinya di sebuah perusahaan otomotif."
Wah ternyata anak orang kaya.
Chrissella nyengir. "Sangat kaya. Sampai-sampai Papa lupa bahwa dia itu punya seorang anak tunggal yang begitu merindukan kasih sayangnya yang sudah hilang semenjak Mama pergi."
"Pergi? Maksudmu, meninggal? Berarti Mama kamu ada di tempat ini juga dong?"
"Tidak sama sekali. Sejak kematianku, dua tahun lamanya mencari, aku tak pernah menemukan jejak Mama. Sampai akhirnya, hantu sepuh datang padaku. Dia bilang, Mama sudah dijemput walau masih ada urusan tertinggal. Tapi kata si sepuh itu lagi, urusan tertunda Mama itu aku yang mengurusnya. Aku harus bisa memulihkan kondisi kejiwaan Papa dan membuat beliau menebus segala kesalahan-kesalahannya."
"Oh..." Ricky angguk-angguk. Perempuan ini sangat terbuka sekali yah.
Chrissella terkekeh. "Semenjak jadi hantu, aku sadar keterbukaan itu jauh lebih baik daripada ketertutupan. Dengan menjadi orang yang terbuka, kita sebetulnya sudah menerima segala hal yang ada dalam diri, entah kelebihan, entah kekurangan. Sementara dengan menjadi orang yang tertutup, sebetulnya yang bersangkutan tengah menyangkali potensi yang dimiliki. Yang bersangkutan malah tidak tahu bahwa dirinya memiliki banyak kelebihan yang bisa digunakan untuk sesama dan dunia."
"Wah kamu ini bijak sekali yah. Berapa usiamu?" kata Ricky begitu menekuri wajah Chrissella yang lumayan jelita.
"Sepertinya sih sebaya dengan kamu. Usia kamu berapa?"
"Dua puluh lima."
"Itulah usiaku."
Pemakaman ini memang begitu luas. Dan kuburan Ricky berada di ujung. Sekarang ia dan perempuan hantu bernama Chrissella telah hampir sampai di tengah-tengah pemakaman. Berdiri kokoh sebuah pohon yang dahan-dahannya itu sangat cocok sekali digunakan oleh kuntilanak untuk duduk manis menunggu 'mangsa' yang bisa digoda--terlebih para lelaki hidung belang. Telah banyak hantu yang mengelilingi pohon itu. Mereka selalu berkumpul di situ tiap ada hantu baru. Kalau di dunia manusia, ada yang namanya ospek; maka hal sama juga berlaku di dunia perhantuan. Tapi tenang, dunia hantu sangat jauh berbeda dengan dunia manusia. Dunia hantu malah lebih beradab. Tak ada istilah 'bullying' di sini.
"Hai semua," sapa Chrissella ramah. "Ini, aku sudah bawa si hantu baru. Benar kata Dedi, dia bunuh diri matinya. Masih hilang ingatan. Untungnya dia masih punya keluarga yang peduli. Jadi aku bisa tahu namanya. Namanya itu Ricky Hermanto."
"Halo, Ricky!!!!" seru para hantu nyaris serempak seraya tersenyum lebar.
Ricky mengangguk kaku, tersenyum canggung. Salah seorang hantu menghampiri. Pria hantu yang sepertinya berusia lima tahun di atas. Tapi tunggu, ia teringat kata-kata Chrissella sebelumnya. Bisa jadi si pria ini tak berusia seperti asumsinya. Mungkin masih remaja, mungkin pula sudah lanjut usia.
"Tenang, aku sama seperti kamu. Kita sebaya. Aku juga berusia dua puluh lima tahun. Pun aku sama seperti kamu, matinya bunuh diri. Setelah penantian nyaris tiga bulan lamanya, aku bisa tahu penyebab kematianku. Ternyata aku meninggal karena menenggak beberapa obat tidur dalam dosis yang sangat besar. Bodoh yah aku ini. Masa cuma gara-gara depresi akibat kehidupan kantor yang super-duper menyebalkan, sampai harus seperti itu? Padahal kan kita bisa selalu mengambil sisi positifnya. Ada banyak cara untuk bisa menemukan hal-hal baik di antara sekumpulan hal-hal menyebalkan yang bikin penat otak saja."
"Oh." kata Ricky singkat. Jadi apa penyebab aku bunuh diri?
"Tenang," Pria sebaya dengannya itu menepuk pundaknya. "Tenang, Ricky. Aku pasti akan membantu kamu mencari tahu soal asal-usulmu. Oh iya, kenalkan, namaku Doni."
Salah seorang hantu lain menghampiri. Perempuan. Sinis sekali wajahnya.
"Ck, sepertinya kamu ini dulu pemuda bermasalah yah. Lihat saja potongan rambutmu, awut-awutan. Tatapan matamu juga menunjukkan bahwa kamu itu tipe pemuda yang senang memberontak. Oh iya, satu lagi, kamu orang yang sangat tidak disiplin. Lebih senang hura-hura, kan?"
Chrissella menatap nyalang. "Kamu apaan sih, Cynthia? Ramah sedikit kenapa? Jangan gara-gara--"
"Udah deh, nggak usah sok ungkit masa laluku!" gertak Cynthia.
"Kamu duluan yang mulai," ucap Chrissella nyengir penuh kemenangan.
"Sudah, sudah. Kalian berdua ini apa-apaan? Tak enak tahu memberikan kesan negatif untuk hantu baru." lerai Doni. "Lebih baik kita berpesta."
"Pesta?" tanya Ricky mengernyit bingung. "Memang hantu tahu berpesta juga?"
Semua hantu terbahak-bahak. Untung saja volume suara hantu itu tak bisa ditangkap oleh manusia normal. Kalau bisa, pasti si penjaga makam sudah merasa terganggu tidur nyenyaknya.
"Hei, kamu lupa? Kita kan dulunya manusia. Yah jelaslah kita tahu berpesta juga. Bedanya pesta para hantu tak seperti pesta para manusia yang begitu menyanjungkan hedonisme. Kami--para hantu--berpesta dengan cara lebih beradab. Kamu pernah ikut perkemahan pramuka, kan?" jelas Doni.
Ricky mengangguk.
"Kurang lebih seperti itulah," kata Doni tersenyum.
Lalu, pesta pun dimulai.
*****
Laki-laki itu seorang penyanyi. Ia jebolan sebuah ajang pencarian bakat. Lima tahun lalu, ketenaran datang menghampirinya. Dua albumnya sukses di pasaran. Namun, kalian semua tahu kan, betapa kerasnya dunia hiburan itu. Hilir mudik artis datang-dan-pergi, timbul-dan-tenggelam. Tiga tahun setelahnya, karirnya nyaris meredup. Ia tak bisa mempertahankan nama besarnya. Malah ia jatuh ke jurang minuman alkohol dan obat-obatan. Alhasil suaranya tak seindah sewaktu awal mengikuti ajang tersebut.
Kini lelaki itu duduk meringkuk di atas tempat tidur. Udara dingin dari mesin pendingin sama sekali tak bisa memperdingin suasana hatinya yang sangat panas oleh aura-aura negatif. Ia depresi berat. Masalah tak pernah berhenti menghantamnya dengan amat keras. Baru-baru ini, ia diterpa berita kegagalan pernikahannya dengan seorang bintang baru. Itu adalah seorang perempuan artis yang sangat cantik, yang mana namanya melejit akibat kesuksesan si perempuan dalam sebuah film layar lebar. Si perempuan mendadak membatalkan rencana pernikahan karena tak kunjung mendapatkan restu orangtua. Orangtua si perempuan benar. Agama jauh lebih penting. Apalagi si perempuan sadar bahwa kesetiaan terhadap keyakinan yang dianut amatlah penting ketimbang kesetiaan terhadap pasangan. Tuhan saja berani diselingkuhi, apalagi pasangan sendiri.
Lelaki ini sama sekali tak bisa menerima alasan si perempuan yang akhirnya memilih untuk menjadi sahabat daripada sebagai seorang pasangan hidup. Bahkan si perempuan menolak untuk mengikuti agamanya yang sejak dirinya mengenal kehidupan malam, dia sudah lupa bagaimana menghayati agamanya secara baik dan benar.
Ia dan mantannya terus cekcok. Berkali-kali menghampiri sang mantan dan memaksa untuk mau dinikahi. Bahkan, jika tak ada yang melihat, ia berani main kasar. Lebam di lengan kanan dan kiri itulah yang menyeretnya ke meja pesakitan. Jalannya persidangan juga sudah merusak kehidupan lainnya sebagai seorang pemain sinetron dan FTV. Beberapa kontrak harus dibatalkan. Kasihan lelaki ini!
Saking tertekannya, lelaki ini berjalan terhuyung-huyung menuju rak kecil. Dibuka dan diambilnya pil-pil iblis itu. Masih kurang? Masih dengan terhuyung-huyung, ia berjalan menuju dapur. Segelas besar gin ia tenggak.
"Ah, indahnya dunia!!!!!" pekiknya. "Kenapa aku baru sadar dunia ini begitu indah? Lihat, sekarang di kamarku ada pelangi. Dan lihat,--"
Ia memegangi kepalanya, berusaha mencegah dari ambruk semata. Namun semua sudah terlambat.
Lelaki. Ini. Ambruk. Juga.
Lelaki ini ambruk dengan air mata yang membanjiri rupanya. Padahal lelaki ini paling pantang untuk menunjukkan wajah sendu. Baginya, lelaki itu tak boleh menangis. Lelaki itu harus selalu terlihat kuat apapun masalah yang menimpa. Namun sekarang, ia bisa juga menangis lepas. Yah, ia terisak selepas-lepasnya.
Seru, Nuel! :)
ReplyDeleteceritanya bagus,waah ternyata hantu suka pesta juga ya :D
ReplyDeletekehidupan artis ternyata berat ya sampai rela bunuh diri gitu :) oops ini cuma cerita padahal ya entah di kehidupan artis aslinya seperti apa. next cerita yang romatis yaaaa jgn bunuh diri lagi :)
ReplyDeleteKok ga enak banget yabg penutupnya? Ini murni fiksi lho, Bu. Aku nggak ada kepikiran buat gitu juga. -_-
DeleteYah walau dialog-dialognya itu memang kepikiran aja kemarin, wahahahaha
Ngga kebayang kalok hantu sukanya pesta. Huahahaaaa :D
ReplyDelete