"Belajarlah menghargai hal-hal kecil sebelum menerima hal-hal besar." - @nuellubis.
Sekitar hari sabtu, 23 Mei 2015, gue iseng bertanya ke salah satu kenalan gue di situs jejepangan paling kece se-Indonesia. Namanya Adrian Hendara. Sebetulnya bukan iseng sih, emang sengaja nanya. Gue penasaran saja dengan kelanjutan project situs tersebut yang mana gue juga ikut bergabung sekitar Juni 2014. Ternyata, katanya Adrian, JS Book itu sudah terbit akhir Maret lalu.
Karena itulah, gue memutuskan langsung ngibrit ke toko obat buku terdekat. Gue langsung ba-bi-bu keluarin duit Rp 65.000, dan tentunya itu ada maksud tersendiri. Ada tulisan gue juga, kan. Hitung-hitung, walau di kavernya itu dikatakan bahwa penulisnya itu tim Japanese Station, tetap saja, faktanya gue sempat kasih ide buat buku "Japanese Station Book" yang warna kavernya itu didominasi oleh warna kuning. Lumayanlah jadi punya pengalaman dalam hal memberikan ide ke sebuah project buku yang digagas oleh sebuah web (yang mana project-nya itu digagas pertama pada Juni 2014). Dan pengalaman gue menulis sekitar 60-an artikel di Japanese Station itu sungguh pengalaman yang tak bisa dibeli dengan mata uang manapun.
Waktu itu, gue kirim artikel ke Mas Nuary Pradipta, web developer-nya Japanese Station. Tulisan gue itu tentang idol-idol-an. Udah deh, enggak usah tanya kenapa gue pilih topik itu. Hanya gue dan Tuhan yang tahu. Hahaha. Yang jelas, memang ide tulisan gue itu dimasukin, di bagian akhir, bagian penutup buku yang kece itu (akibat banyaknya foto dari navigator-navigator Japanese Station yang naudzubillah cantiknya). Eh tapi tulisan itu bukan murni tulisan gue, lho. Paling hanya ada sekitar 35% isi dari artikel gue yang dgunakan di "Japanese Station Book". Selebihnya, artikel soal idol-idol-an itu sudah berubah sekali. Yah mungkin itu menyesuaikan dengan keinginan editor dari penerbit Bukune. Yang jelas, konsep dari "Japanese Station Book" itu sudah keren gila; itu menurut gue, lho.
Buat yang hobi jejepangan (atau pakai istilah teman-teman SMA gue dulu, J-Freak), buku "Japanese Station Book" itu wajib dimiliki banget. Kalian bakal puas deh, bacanya. Hasrat kalian akan jejepangan amat sangat terpuaskan sekali. Kalian bakal tahu seluk-beluk soal Jepang. Mulai dari tradisinya, budayanya, bahasanya, anime-nya, manga-nya, tokusatsu-nya, musiknya, budaya idol-nya, dan lain-lain, dan sebagainya. Intinya juga, "Japanese Station Book" itu semacam miniatur dari situs Japanese Station sendiri. Kalian juga bisa sedikit mengenal siapa saja navigator-navigator dari Japanese Station.
Anyway, sumpah yah, gue bukan J-Freak. Gue akui udah familier sama jejepangan itu semenjak SD. Tapi kecintaan gue ke negara sakura itu mulai tumbuh dan mekar sejak April 2013. Kalau bukan karena first of Indonesian idol group itu, gue (mungkin) enggak akan pernah bisa punya kesempatan untuk menambah portofolio gue di bidang tulis-menulis. Pun, pengetahuan gue akan jejepangan itu juga bertambah drastis gara-gara JKT48. Tak hanya soal 48 Group atau dunia idoling, gue juga jadi tahu soal segala pernak-pernik jejepangan lainnya. Pengetahuan gue akan manga, anime, tokusatsu, musik Jepang, dan segala budayanya, gue jadi mulai tahu banyak. Tapi, tetap, walau gue udah bisa dibilang fasih, gue masih tetap cinta sama Indonesia (walau terkadang suka ilfil gitu sama negara sendiri yang sungguh kelewatan untuk beberapa hal).
Ah, semoga saja setelah debut gue sebagai penulis mulai terlihat (walau bukunya itu sebetulnya ditulis borongan sama tim Japanese Station yang lainnya), kelak gue bisa ke Jepang. Enggak sekadar berlibur semata, tapi gue berharap itu benar-benar berkaitan sama profesi gue. Entah sebagai penulis, entah pula sebagai fotografer.
Ah, indahnya debut sebagai penulis buku major itu (walau nulisnya borongan). Semoga kelak novel tunggal gue bisa menyusul ada di toko-toko buku. Enggak sabar, euy, lihat novel sendiri ada di salah satu rak toko buku. Apalagi toko buku kenamaan semacam Gramedia. Beuh!
At last, beli yah, guys, "Japanese Station Book" ini. Isinya kece, sampulnya kawaii banget, harganya pun tak terlalu mahal. Cuma Rp 65.000. Dan satu lagi, dengan kalian beli ini, kalian bakal tahu bahwa ternyata situs Japanese Station itu ada hubungan sama Yahoo! News. Buat buktikannya? Beli sendiri dong! Huehehe. xD
By the way, ini artikel yang gue kirim ke Mas Nuary itu. Tentunya ini artikel kasarnya. Yang ada di "Japanese Station Book"-nya itu berbeda jauh, lho.
=D
Walaupun
berada di tengah-tengah gempuran budaya Korea yang menerjang Indonesia semenjak
kemunculan drama “Endless Love” (Mungkin), budaya Jepang tetap bertahan di
negara khatulistiwa ini. Penggila hal-hal
berbau jepang-jepangan masih tetap ada di Indonesia. Umumnya sih, mereka
yang setia itu… yah para otaku. Para pecinta anime atau manga dari negeri
sakura tersebut.
Omong-omong, kapan sih budaya Jepang
mulai disukai segenap orang Indonesia? Wah untuk tahu yang satu itu, sebaiknya
kita harus belajar dulu yang namanya sejarah.
Semuanya sudah tahu kan? Tahu-lah –
Indonesia itu pernah dijajah bangsa Jepang selama tiga setengah tahun. Memang
waktu selama itu bukanlah waktu yang menyenangkan. Menyakitkan. Kita tahu
sendiri, bagaimana kekejaman tentara Nippon di Indonesia. Banyak warga
Indonesia jadi budak romusha. Tak
sedikit yang jadi jugun ianfu.
Walaupun demikian, kita tetap
bersyukur, Jepang menjajah Indonesia. Negara ini, setidaknya, memiliki
keterikatan dengan negara yang suku aslinya ialah Ainu. Mungkin sejak itulah,
bangsa Indonesia jadi begitu mengenal budaya Jepang. Apalagi salah satu istri
salah satu proklamator kita itu juga dari Jepang.
Tapi apakah benar kecintaan sebagian
warga Indonesia itu bermula sejak masa penjajahan Jepang? Agak diragukan
memang. Sebab, setelah sekutu membom atom Hiroshima dan Nagasaki, Indonesia
dalam keadaan status quo sebelum
akhirnya memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Berikutnya
segenap tentara Jepang mulai meninggalkan tanah air. Masuklah tentara sekutu
yang diboncengi oleh NICA (baca: Belanda). Jadi, apakah benar sejak saat itulah
masyarakat Indonesia mulai mengenal budaya Jepang?
Hmm, oke-lah anggap saja seperti
itu. Mungkin memang pada saat itulah, masyarakat Indonesia mulai mengenal
budaya Jepang. Kita jadi mengetahui yang namanya ikebana, kabuki, origami,
sakura, karate, kendo, dan lain-lain, dan sebagai berikutnya. Meskipun belum
pasti juga masyarakat kita juga mencintai budaya Jepang, mengingat status
Jepang yang merupakan mantan kolonialis. Move-on
itu berat, jenderal. =D
Bicara soal kecintaan akan budaya
Jepang, rasanya kita tak boleh meremehkan peran para otaku. Bagaimanapun yang
membuat budaya Jepang makin betah berada di Indonesia, yah karena peranan dari para otaku manga dan anime tersebut.
Anime
– dan mungkin manga-nya juga sekalian
– mulai masuk ke Indonesia itu sekitar awal 1980-an. Lalu perlahan mulai
meredup saat meredupnya penggunaan video BETA. [1]Apalagi
stasiun TV saat itu – TVRI – lebih cenderung menayangkan animasi dari daratan
Eropa dan Amerika. Namun itu hanya sementara. Era 90-an, anime dan manga Jepang
mulai mengekspansi Indonesia lagi (Tak hanya anime, drama-drama Jepang mulai
sering diputar di televisi Indonesia). Siapa yang tak mengenal Doraemon, Kapten
Kid, Magic Knight, Sailor Moon, hingga Kobo Chan. Tak hanya stasiun TV yang
sering sekali menayangkan anime-anime dari
negeri dimana ninja berasal, toko buku juga sama. Mungkin 85%-lah
prosentasenya, banyaknya komik Jepang ketimbang komik Western. Dan komik Jepang
yang serial-serial itu (serial cantik, serial misteri, dll) merupakan yang
paling sering kita temui. Itu di luar komik legendaris Doraemon dan Dragon Ball
Z.
Kita patut bersyukur Doraemon telah
masuk ke Indonesia. Karena lewat komik itu juga, masyarakat Indonesia jadi
mengenal lebih lanjut soal budaya-budaya Jepang. Siapa tak mengenal dorayaki, ayatori, budaya ojigi, atau juga… yah pokoknya sang komikus, Fujiko F Fujio, cukup
sering memasukan budaya negaranya ke dalam tiap artwork-nya. Tak sekedar Doraemon, komik-komik lain ciptaannya juga
sama. Masih ingat juga kan sama Ninja Hatori dan P-Man?
Anime
dan manga Jepang tetap bertahan. Tak
terkalahkan juga. Sampai detik ini, tiap masuk ke toko buku, saya masih cukup
gampang menemukan komik-komik Jepang. Di salah satu toko buku saja, komik-komik
Jepang bisa menguasai lima rak buku sekaligus; bahkan bisa lebih. Sementara
komik-komik Eropa dan Amerika saja, paling banter hanya bercokol di satu-dua
rak. Jangan lupakan pula keberadaan komik-komik Korea, walau populasinya belum
sebanyak komik-komik Jepang.
Musik Jepang
Dari anime, tiap menontonnya, pasti di awal, kita sudah disuguhi dengan
sebuah soundtrack. Bagaikan gudeg
tanpa rasa manis, rasanya keberadaan musik soundtrack
dalam sebuah anime tak boleh dilewati
begitu saja. Hampir sebagian besar penikmat anime,
selain menghapal mampus alur ceritanya, pula tak melupakan musik pembukanya –
yang lebih sering diterjemahkan liriknya ke dalam bahasa Indonesia.
Mulai dari menonton ceritanya, mendengar
soundtrack-nya, perlahan tapi pasti,
masyarakat Indonesia jadi mengenal musik-musik Jepang. Yah memang sih, tak
hanya lewat anime saja. Tanpa
kehadiran anime juga, masyarakat
Indonesia juga sudah mengakrabi musik Jepang. Kita sudah lebih dulu mengenal
lagu “Kokoro no Tomo” atau “Ue o Muite Arukou” (Atau kita mengenalnya sebagai
“Sukiyaki Song”). Oh iya, jangan lupakan juga drama “Oshin”.
Tapi tetap memang, gara-gara anime-lah, kecintaan akan budaya Jepang semakin menguat. Sebagian
besar masyarakat Indonesia lebih mengenal budaya Jepang karena anime dan juga manga-nya. Otomatis, soal musik pun sama.
Kita mengenal band legendaris
Jepang, L`Arc~En~Ciel karena pengaruh anime.
Siapa tak mengenal anime “Full Metal
Alchemist”. Lewat anime itulah, banyak orang Indonesia jadi menggemari Laruku
(Sapaan akrab buat L'Arc~en~Ciel). Jauh sebelum itu, saya rasa tak ada yang
mengenal band yang mengusung genre pop-rock
atau alternative rock tersebut. Sebagai
tambahan informasi, era 90-an, kebanyakan orang Indonesia lebih menyukai
penyanyi-penyanyi dari negeri Paman Sam.
Begitu pun dengan YUI. Penyanyi bernama asli Yui
Yoshioka itu juga lebih dikenal di Indonesia karena anime. Berterimakasihlah
kepada anime “Bleach”. Salah satu
lagunya, “Life”, telah menjadi ending theme kelima dari anime tersebut. Yah walau tak hanya dari anime itu saja. Bagi
penyuka drama-drama Jepang, mungkin sudah mengenal YUI lebih dahulu.
Lewat YUI dan L'Arc~en~Ciel,
masyarakat Indonesia mulai mengenal musisi-musisi Jepang lainnya. SCANDAL
merupakan contoh lainnya. Tak hanya itu saja, masyarakat Indonesia pun mulai
mengenal yang namanya idol group. Morning
Musume merupakan pionirnya (Lagi-lagi ini juga digemari karena salah satu
lagunya pernah jadi soundtrack sebuah
anime).
Budaya Idol
Sebetulnya untuk budaya idol yang satu ini, masyarakat Indonesia
belum terlalu terbiasa dengannya. Kita belum terbiasa melihat segerombolan
perempuan atau laki-laki yang berada di atas panggung sembari menari dan
menyanyi. Apalagi kebanyakan idol group
itu berjumlah lebih banyak dari kebanyakan boy/girlband asal Amerika atau
Eropa. Masyarakat Indonesia sendiri juga belum terbiasa dengan yang namanya graduation ceremony, lightstick, handshake,
photoshoot, photopack, atau photobook. Gravure pun belum terbiasa.
Padahal di Jepang sendiri, budaya
idol sudah begitu membumi sekali. Fenomena idol
di Jepang pertama kali muncul pada era 1970-an. Itu terjadi sewaktu mayoritas
masyarakat Jepang menggilai Sylvie Vartan. [2] Idol
paling terkenal itu Seiko Matsuda. Terus masih ada SMAP. Hingga akhirnya kita
mengenal idol group Jepang paling
fenomenal – karena berhasil masuk Guiness Book Record – AKB48.
Lewat AKB48 sendiri, banyak idol group di Jepang mulai meniru
beberapa konsep yang dikembangkan sang pendiri AKB48, Yasushi Akimoto. Yang
terutama, konsep ‘idol you can meet’. Baru AKB48 dan sister group-nya yang memiliki venue
sendiri. 48 Group pulalah yang memperkenalkan aturan no dating rule atau renai
kinshi jourei. Yaitu aturan dilarang menjalin hubungan asmara sewaktu masih
menjadi member.
Selain itu, ada lagi beberapa aturan
yang sekarang ini hampir digunakan oleh sebuah agensi di Jepang – yang
mengelola sebuah idol group[3].
Contohnya seperti:
1. Pergi
ke diskotik dilarang;
2. Menulis tanda
tangan pribadi dilarang (Kecuali jika pada barang merchandise yang akan di jual);
3. Tidak
boleh mabuk-mabukan dan merokok;
4. Tidak
boleh pacaran;
5. Jika
pergi harus dengan penjaga atau wali;
6. Sekolah diutamakan;
7. Tidak
boleh berpakaian mencolok atau make-up yang mencolok.
Di Indonesia sendiri, konsep idol itu baru benar-benar mewabah
sewaktu kemunculan perdana JKT48. Memang sih sebelumnya, bagi penikmat J-Pop,
mereka tak asing dengan fenomena idol group tersebut. Tapi pertanyaannya:
seberapa besar penikmat J-Pop di Indonesia? Yah kita semua tahu, penikmat
J-Music di Indonesia itu hanya minoritas. Masih kalah jumlahnya dengan penikmat
musik dari negeri Patung Liberty atau negeri Ginseng. Makanya tak salah jikalau
saya berkata konsep idol baru
benar-benar mewabah pas JKT48 muncul.
Tak ayal muncul yang namanya shock culture. Masyarakat Indonesia
belum terbiasa dengan istilah oshimen,
minna daisuki, kamioshi, hingga oshihen.
Belum terbiasa melihat sekelompok remaja putri lenggak-lenggok menari dan
menyanyi. Kaget melihat JKT48 yang mendirikan teaternya di dalam sebuah mal
kenamaan di ibukota. Terutama lagi melihat beberapa penonton yang
mengatraksikan penggunaan lightstick
saat idol group yang dikapteni oleh
Melody itu berlangsung. Karena selama ini nyaris tak ada lightstick saat pertunjukan musik berlangsung. Penggunaan lightstick itu merupakan budaya dalam
J-Music.
Contoh paling heboh dalam culture shock ini ialah saat Cleo dan
Ochi keluar dari JKT48. Sepertinya kedua ex-member
tersebut belum terbiasa dengan segala yang berbau idol group. Belum terbiasa dengan segala tetek bengek sistem dan
manajemennya.
Selain itu, penggunaan kata wota juga membingungkan masyarakat
Indonesia. Semenjak kemunculan JKT48, tak sedikit yang beranggapan bahwa wota merupakan sebutan untuk fans JKT48.
Padahal itu merupakan sebuah kekeliruan. Wota
sendiri berasal – serta merupakan bagian – dari kata otaku. Otaku itu sendiri
merupakan seseorang yang begitu terobsesi akan sesuatu. Dan di Jepang sendiri,
otaku tak hanya melulu soal anime
atau manga. Ada banyak jenis otaku, dan salah satunya itu wota itu
sendiri – yang merupakan kegilaan secara berlebihan terhadap budaya idol, khususnya idol group.
Sekali lagi, di Jepang sendiri,
orang dengan mati-matian berusaha menyembunyikan status otaku atau wota-nya itu.
Bagaimana pun, di sana, masyarakat akan mencibir yang namanya otaku – apapun itu. Namun di Indonesia,
seseorang malah dengan bangga menyebut dirinya wota – atau vvota – hanya
karena dirinya menggemari JKT48. Saya dulu sempat berpikir seperti itu sebelum
akhirnya tahu bahwa wota itu tak
melulu berhubungan ke JKT48. Bahkan ketika saya mengidolakan Momoiro Clover Z,
serta merta saya juga bisa dibilang wota.
Pula ketika saya mengidolakan idol group
asal kota Bandung, Scarlet.
Lagian sudah lama sekali istilah otaku tersebut memiliki konotasi negatif
bagi masyarakat Jepang. Kurang lebih itu sama saja dengan sebutan kutu buku di
Indonesia. Di Indonesia, semua yang hobi baca disebut kutu buku. Tapi
kebanyakan yang hobi baca seringkali menolak disebut kutu buku. Begitulah
kenapa – di Jepang – seorang otaku
sebisa mungkin menyembunyikan ke-otaku-annya.
Namun di Indonesia, orang malah
bangga menyebut dirinya wota. Bahkan
hanya karena menggemari JKT48 atau AKB48 atau sister group lainnya, mereka sudah dengan bangga sekalinya menyebut
dirinya seorang wota. Bahkan saya
pernah dengar, ada seorang wota tak
tahu malu yang melakukan wotageishi
saat JKT48 tampil di hadapan tokoh-tokoh penting dari Jepang.
Oh iya, kalau berbicara soal wota juga, saya jadi teringat kejadian
yang pernah menimpa saya. Sejak kejadian tersebut, saya baru sadar bahwa
sekiranya kita tidak boleh menunjukan sisi ketidaksukaan kita saat kita ngidol ke salah satu idol group.
Yah kita tahu, dalam sebuah idol group, ada begitu banyak member. Kalau kita menyukai salah
seorang member, pasti-lah kita memiliki member
yang tidak kita sukai. Nah ketidaksukaan itulah yang tak boleh kita tunjukan.
Apalagi saat kita berhadapan dengan fans garis kerasnya – yang kita boleh sebut
sebagai wota. Mereka akan jadi sangat
berapi-api saat oshi-nya diejek-ejek.
Terutama lagi saat berhadapan dengan wota
JKT48. Bagi mereka, haram jika ada yang menjadikan JKT48 sebagai lelucon.
Segala yang berbau JKT itu baik adanya.
Untuk hal itu, saya sebisa mungkin
berusaha menahan tawa. Karena bagaimana pun, buat apa begitu serius membela
seorang idol? Kalau ada yang tak
suka, selama itu tidak mengarah ke hal anarkis, tak masalah buat saya.
Tapi sekiranya dari situ, saya
sadar. Mungkin kecenderungan untuk menutupi segala ketidaksukaan kita akan
beberapa hal dalam sebuah idol group
itu cerminan pula dari sikap kebanyakan idol
Jepang yang berusaha tidak menunjukan segala kesedihan dan kekesalannya di
hadapan fans. Seorang idol harus
selalu terlihat tersenyum dan riang gembira.
Namun,
di luar soal cerita saya soal berhadapan dengan wota garis keras AKB48, kehadiran JKT48 yang ditunggangi oleh AKB48
selaku perwakilan dari musik Jepang sesungguhnya… yah memang benar sudah
memperkaya dunia musik tanah air. Walau masyarakat Indonesia masih begitu kagok
dengan beberapa istilah yang berasal dari Jepang, JKT48 telah memberikan kita opsi lainnya dari
musik-musik yang telah beredar lebih dahulu. Pula makin mengkonsolidasikan
eksistensi dari penyuka musik jepang-jepangan. Apalagi, jika seseorang
menggemari JKT48, perlahan tapi pasti, secara otomatis, mereka juga akan
menyukai musik-musik Jepang lainnya. Hal tersebut bukan pepesan kosong. Memang
sudah terbukti. Banyak wota 48 Group
– terlebih bagi para sesepuhnya – yang mengamininya.
Bila
JKT48 semakin digandrungi di tanah air, secara otomatis masyarakat Indonesia
akan melirik musik Jepang. Dari situlah, sekiranya para penyuka J-Music tak
perlu lagi hidup di balik bayang-bayang para K-Popers atau penyuka musik
Amerika atau Eropa. Mungkin ke depannya, tak usah heran, jikalau Indonesia
terkena Japan fever – yang akan
menggantikan Korean fever. Bukan tak mungkin juga, segala event jejepangan akan memiliki
pengunjung tiga kali lebih banyak.
Yah
walaupun tanpa kehadiran JKT48 pun, jumlah orang yang Japan-addicted tetap lebih banyak daripada mereka yang Korean-addicted. Sebelum JKT48
terbentuk, manajemen 48 Group sudah melakukan riset terlebih dahulu. Dan
hasilnya, penyuka hal-hal berbau jepang-jepangan tetap lebih banyak daripada
para penyuka Korea. Indonesia juga merupakan negara pertama di Asia Tenggara
yang jumlah otaku-nya lebih banyak.
Jadi…
tinggal menunggu waktu saja, budaya idol
bisa benar-benar diterima oleh masyarakat Indonesia.