"Tuhan sebetulnya sudah sering mengingatkan manusia dengan beragam cara. Cuma karena manusia-nya yang sering nggak menggubris, akhirnya Tuhan pakai cara-cara pahit." - Afghan Elbanna, seorang bloger.
Manusia biasanya begitu. Dalam menerima suatu pembelajaran, maksudku. Mereka biasanya anggap remeh. Mereka merasa apa yang mereka tengah pelajari itu tidak ada gunanya dalam kehidupan sehari-hari. Aku pun manusia, bukan seorang alien dari luar galaksi. Sampai sekarang, aku masih seperti itu. Dulu semasa masih pelajar, aku jengah dengan beberapa mata pelajaran. Ambil contoh: Matematika. Aku suka bertanya-tanya, memangnya vektor, algroritma, sinus, dan berbagai rumus itu kuaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Lantas, apa gunanya mengenal rumus-rumus kimia kalau tidak kelak bekerja di bidang kimia? Begitu dulu pertanyaan-pertanyaanku.
Di saat tengah kilas balik itulah, aku sadar. Kembali aku teringat akan sebuah cerita rakyat dari daerah aku berasal, Sumatera Utara. Beginilah ceritanya. Dahulu ada seorang pemuda yang berguru ke beberapa tua-tua. Sayangnya, entah si pemuda ini kelewat cerdas atau apalah, si pemuda sering merasa kurang puas dengan pembelajaran yang didapatkannya dari tua-tua tersebut. Mereka selalu memberikan petuah-petuah pendek. Yah seperti, "Kalau ketemu kelabang, langsung tusuk dengan pisau yang sudah diasah". Hingga akhirnya, saat si pemuda menikahi anak perempuan seorang bangsawan, tiap nasehat yang didapatnya itu berguna sekali. Ngefek.
Aku pun seringkali merasa seperti pemuda itu. Sering sekali merasa apa yang kudapatkan selama ini seolah sia-sia. Aku sering berpikir, buat apa belajar ini, buat apa belajar itu (toh cuma di Indonesia), dan bla-bla-bla lainnya. Makanya, walau sebal juga, tapi acapkali membenarkan apa yang dikatakan beberapa orang tiap jujur kubilang aku ini sarjana hukum tapi memilih menjadi penulis. Mereka suka bilang, "Sia-sia, dong, ilmu Hukum-nya," Kujawab saja, "Ilmu itu nggak ada yang sia-sia. Pasti suatu saat berguna."
Yah, memang benar. Ilmu apa pun yang kita dapatkan itu tidak akan pernah menjadi suatu kesia-siaan. Pasti berguna, kok--walau manfaatnya itu terasa sepele sekali. Seperti saat aku memandang ilmu dari keyakinan yang sudah kuanut sejak kecil. Yaitu ilmu agama Nasrani. Well, sekarang aku baru mengerti apa itu makna dari 'haus akan firman Tuhan'.
Jujur saja, aku memang bukan tipe religius, yang rutin ke gereja tiap minggu, yang saat teduh-nya (saat teduh itu bisa dibilang meditasi di kalangan umat Nasrani, saat di mana kita membaca kitab suci, membaca buku renungan, lalu merenungi dan membawanya dalam doa) itu rutin. Tidak, aku tak seperti itu. Kadang aku masih suka bolong-bolong ke gereja. Aku suka lupa berdoa. Kalau malas menyerang, suka malas ber-saat teduh. Tak ayal, akhir-akhir ini--di tahun 2015, aku merasa kehidupan rohaniku ini begitu gersangnya.
Ah, aku ingat satu fakta soal diriku. Masih ada kaitannya dengan paragraf sebelumnya sih. Sebab, begini, aku ini kan hobi sekali membaca. Walau hobi membaca, entah kenapa aku kurang sreg membaca buku-buku rohani Kristiani. Tiap membacanya itu, selalu tak pernah lebih dari sepuluh halaman, lalu mengantuk. Atau, yah aku hanya membaca bagian-bagian yang kurasa penting. Aku lebih tertarik membaca buku-buku yang berkaitan dengan sejarah. Buku-buku seperti itu favoritku sekali. Menyusul di tempat kedua itu komik, lalu novel.
Saat ke toko buku, aku lebih tertarik mengunjungi rak-rak novel dan komik ketimbang buku-buku Kristiani. Tapi pernah sih sesekali datang ke rak Kristen dan tertarik membeli satu buku rohani yang Puji Tuhan, mungkin karena isinya 75% bersifat sejarah, lebih dari dua puluh halaman aku habiskan. Hanya buku "Menyibak Kontroversi Dugaan Ketidakaslian Alkitab" karya Harold Lolowang yang pertama kubeli dan kubaca lebih dari dua puluh halaman sekaligus (walau belum habis kubaca hingga saat ini). Sisanya, belum ada, baik sebelumnya maupun setelahnya. Itu pun termasuk saat kasus itu terjadi.
Saat ke toko buku, aku lebih tertarik mengunjungi rak-rak novel dan komik ketimbang buku-buku Kristiani. Tapi pernah sih sesekali datang ke rak Kristen dan tertarik membeli satu buku rohani yang Puji Tuhan, mungkin karena isinya 75% bersifat sejarah, lebih dari dua puluh halaman aku habiskan. Hanya buku "Menyibak Kontroversi Dugaan Ketidakaslian Alkitab" karya Harold Lolowang yang pertama kubeli dan kubaca lebih dari dua puluh halaman sekaligus (walau belum habis kubaca hingga saat ini). Sisanya, belum ada, baik sebelumnya maupun setelahnya. Itu pun termasuk saat kasus itu terjadi.
Desember 2011, aku ada kasus di kampus. Terjadinya pasca aku lulus sidang. Aku gegabahnya malah memalsukan tanda tangan dosen hanya demi urusan pasca lulus itu cepat kelar. Aku kira sudah aman. Hingga seminggu kemudian, orang sekretariat meneleponku, yang lalu disambungkan pada dosen pembimbingku. Menjelang hari penghakimannya, aku sungguh tak bisa tidur. Yah, aku tahu itu sama saja perbuatan kriminal. Tapi untungnya, syukur sekali pada Tuhan Yesus Kristus, masalah itu tak sampai jatuh ke ranah hukum. Aku hanya diceramahi habis-habisan, di-pingpong ke sana ke mari, lalu harus mencetak ulang skripsiku. Sudah, hanya itu. Tak hanya pada Tuhan Yesus aku mengucapkan terimakasih, namun juga ke salah satu dosen pengujiku (yang ketua penguji), Bu Diao. Kalau bukan karena kebaikan hatinya, habislah aku.
Nah saat itu Bu Diao memberikanku buku rohani. Isinya bagus sekali. Namun, seperti yang sudah kukatakan, baru membaca lima halaman saja, aku sudah mengantuk. Alhasil, tak kutandaskan. Sampai akhirnya, kubiarkan begitu saja di rak hingga kertas-kertasnya jadi menguning. Aneh juga, pikirku. Soalnya, dulu semasa kecil, bacaanku itu kebanyakan--kalau nggak komik, yah buku-buku Kristiani. Kok sekarang aku malah lebih tertarik buku-buku yang bersifat duniawi? Tak usah heran, aku merasa imanku itu yah begini-begini saja. Tak mengalami pertumbuhan, stagnan. Tak heran juga, kehidupan rohaniku gersang. Tiap masuk ke gereja, rasa-rasanya ada yang mengganjal di hati. Hanya saat memanjatkan lagu-lagu pujian, aku merasa nyaman berada di rumah Tuhan. Saat puncaknya, yaitu saat khotbah, aku malah tak menikmati. Tak jarang pikiran sering tak fokus ke apa yang diutarakan sang gembala Tuhan. Aku malah melantur ke mana-mana.
Hingga sekarang ini, iseng saja aku buka rak buku-buku Papi, tergerak hatiku buat membaca satu-dua buku Kristiani. Mulanya itu, aku membaca buku-buku Tony Daud yang gaya bahasanya unik, sehingga tak terasa hanya butuh 4 jam untuk menyelesaikannya. Lalu beranjak ke buku-buku rohani lainnya. Kalian tahu kenapa, untuk kali pertama aku dibuat penasaran dengan kelanjutan dari satu buku rohani. Biasanya belum pernah, karena aku beranggapan yah buku-buku rohani itu cenderung membosankan. Seringnya membahas isi Alkitab dengan kemasannya yang suka berbeda-beda untuk tiap buku. Mau buku apa pun, yah sama saja isi dan akhir ceritanya. Isinya itu paling membicarakan soal pertumbuhan iman, doa, spritualitas, dan sebagai berikut--seperti yang kalian bisa tahu-lah buku-buku rohani Kristiani itu bercerita tentang apa kebanyakan (apalagi, maaf, gaya bahasa Alkitab itu menurutku membosankan. Iya, aku tahu, otakku tak beres rupanya). Jangankan menyelesaikannya, untuk mengintip atau baca loncat-loncat juga enggan. Novel religi, "The Messiah" pun sama sekali tak kuselesaikan hingga kujadikan hadiah give away. Namun sekarang, setelah membaca buku "Menjadi Orang yang Imannya Tak Tergoyahkan" karangan John Osteen, aku mendapatkan sensasi berbeda. Aku membacanya itu layaknya membaca buku-buku fiksi dan komik. Begitu menikmati sekali membacanya. Sampai akhirnya, aku menyadari sesuatu itu.
Well, mungkin aku tengah berada dalam fase genting di kehidupan rohaniku. Suatu fase di mana imanku begitu-begitu saja, stagnan, tak mengalami pertumbuhan. Bisa dibilang kehidupan rohaniku itu gersang, segersang Gurun Sahara. Makanya, seperti kubilang, aku selalu merasa kurang tiap masuk ke dalam gereja. Aku juga sering merasa ogah-ogahan saat mau ber-saat teduh. Baca Alkitab pun seolah tak dinikmati; hanya seperti membaca buku-buku kuliah, yang dibaca kalau ada perlunya saja. Sampai-sampai baru membaca satu-dua buku rohani saja, seolah merasa terbebaskan dari rasa haus dan lapar. Haus dan lapar dari apa? Yah dari firman Tuhan.
Sampai di situlah, aku mulai paham apa maksud dari kata-kata 'haus akan firman Tuhan'. Yah itu seperti yang kurasakan sekarang ini. Rada susah untuk menggambarkannya juga. Sebab untuk memahami kata-kata itu, kita memang harus mengalaminya sendiri. Namun yang bisa kubilang, haus akan firman Tuhan itu suatu kondisi di mana kita merasakan sensasi berbeda--yang tidak pernah kita rasakan sebelumnya--saat menyentuh segala hal yang bersifat rohani atau spiritual. Saat itulah, kita merasakan suatu kerinduan dan mungkin kepuasan pula.
Bicara soal buku "Menjadi Orang yang Imannya Tak Tergoyahkan" itu sendiri, sebetulnya buku itu kubeli dengan maksud menguatkan iman Mendiang Mami, sehingga mampu bertahan beberapa lama lagi. Sayang takdir berkata lain. Aku pun tak tahu buku itu sempat dibaca (atau minimal dilihat) mendiang atau tidak. Tapi mendadak, sekarang-sekarang ini aku merasa bahwa sebetulnya aku membeli buku itu murni buatku. Pas baca hingga setengah halamannya, aku merasa tertampar sekali. Saat membeli buku itu, jujur saja aku memang sudah merasakan yang namanya krisis iman, kering kehidupan rohani, bahkan meragukan Tuhan. Intinya, kehidupan rohaniku berada dalam situasi siaga satu. Gawat darurat sekali.
Mungkin seperti itulah cara Tuhan menyadarkanku untuk segera kembali pada-Nya. Badanku digerakkan-Nya masuk ke Central Park, menuju Gramedia, lalu membeli buku John Osteen tersebut. Walau saat itu berkehendak memberikan buku itu pada Mendiang Mami atau Papi, sebetulnya hati nuraniku berkata bahwa buku itu memang khusus untuk aku, bukan untuk siapa-siapa. Mungkin sebetulnya itulah alasan sebenarnya kenapa aku harus merogoh kocek sebesar Rp 50.000. Buku itu memang diperuntukkan untukku yang kering kehidupan rohaninya. Apalagi kita kan juga tak pernah tahu bagaimana cara Tuhan bekerja--yang selalu misterius.
Mendadak aku teringat suatu kutipan (yang tak ingat persis) dari sebuah novel yang dikarang Diego Christian. Saat tokoh utamanya mengalami kondisi yang benar-benar kacau, salah satu sahabatnya mengingatkannya untuk segera berubah; jangan sampai Tuhan menegurnya lewat suatu peristiwa. Yah memang itu benar. Tuhan memang sering menampar manusia lewat peristiwa.
Nah saat itu Bu Diao memberikanku buku rohani. Isinya bagus sekali. Namun, seperti yang sudah kukatakan, baru membaca lima halaman saja, aku sudah mengantuk. Alhasil, tak kutandaskan. Sampai akhirnya, kubiarkan begitu saja di rak hingga kertas-kertasnya jadi menguning. Aneh juga, pikirku. Soalnya, dulu semasa kecil, bacaanku itu kebanyakan--kalau nggak komik, yah buku-buku Kristiani. Kok sekarang aku malah lebih tertarik buku-buku yang bersifat duniawi? Tak usah heran, aku merasa imanku itu yah begini-begini saja. Tak mengalami pertumbuhan, stagnan. Tak heran juga, kehidupan rohaniku gersang. Tiap masuk ke gereja, rasa-rasanya ada yang mengganjal di hati. Hanya saat memanjatkan lagu-lagu pujian, aku merasa nyaman berada di rumah Tuhan. Saat puncaknya, yaitu saat khotbah, aku malah tak menikmati. Tak jarang pikiran sering tak fokus ke apa yang diutarakan sang gembala Tuhan. Aku malah melantur ke mana-mana.
Hingga sekarang ini, iseng saja aku buka rak buku-buku Papi, tergerak hatiku buat membaca satu-dua buku Kristiani. Mulanya itu, aku membaca buku-buku Tony Daud yang gaya bahasanya unik, sehingga tak terasa hanya butuh 4 jam untuk menyelesaikannya. Lalu beranjak ke buku-buku rohani lainnya. Kalian tahu kenapa, untuk kali pertama aku dibuat penasaran dengan kelanjutan dari satu buku rohani. Biasanya belum pernah, karena aku beranggapan yah buku-buku rohani itu cenderung membosankan. Seringnya membahas isi Alkitab dengan kemasannya yang suka berbeda-beda untuk tiap buku. Mau buku apa pun, yah sama saja isi dan akhir ceritanya. Isinya itu paling membicarakan soal pertumbuhan iman, doa, spritualitas, dan sebagai berikut--seperti yang kalian bisa tahu-lah buku-buku rohani Kristiani itu bercerita tentang apa kebanyakan (apalagi, maaf, gaya bahasa Alkitab itu menurutku membosankan. Iya, aku tahu, otakku tak beres rupanya). Jangankan menyelesaikannya, untuk mengintip atau baca loncat-loncat juga enggan. Novel religi, "The Messiah" pun sama sekali tak kuselesaikan hingga kujadikan hadiah give away. Namun sekarang, setelah membaca buku "Menjadi Orang yang Imannya Tak Tergoyahkan" karangan John Osteen, aku mendapatkan sensasi berbeda. Aku membacanya itu layaknya membaca buku-buku fiksi dan komik. Begitu menikmati sekali membacanya. Sampai akhirnya, aku menyadari sesuatu itu.
Well, mungkin aku tengah berada dalam fase genting di kehidupan rohaniku. Suatu fase di mana imanku begitu-begitu saja, stagnan, tak mengalami pertumbuhan. Bisa dibilang kehidupan rohaniku itu gersang, segersang Gurun Sahara. Makanya, seperti kubilang, aku selalu merasa kurang tiap masuk ke dalam gereja. Aku juga sering merasa ogah-ogahan saat mau ber-saat teduh. Baca Alkitab pun seolah tak dinikmati; hanya seperti membaca buku-buku kuliah, yang dibaca kalau ada perlunya saja. Sampai-sampai baru membaca satu-dua buku rohani saja, seolah merasa terbebaskan dari rasa haus dan lapar. Haus dan lapar dari apa? Yah dari firman Tuhan.
Sampai di situlah, aku mulai paham apa maksud dari kata-kata 'haus akan firman Tuhan'. Yah itu seperti yang kurasakan sekarang ini. Rada susah untuk menggambarkannya juga. Sebab untuk memahami kata-kata itu, kita memang harus mengalaminya sendiri. Namun yang bisa kubilang, haus akan firman Tuhan itu suatu kondisi di mana kita merasakan sensasi berbeda--yang tidak pernah kita rasakan sebelumnya--saat menyentuh segala hal yang bersifat rohani atau spiritual. Saat itulah, kita merasakan suatu kerinduan dan mungkin kepuasan pula.
Bicara soal buku "Menjadi Orang yang Imannya Tak Tergoyahkan" itu sendiri, sebetulnya buku itu kubeli dengan maksud menguatkan iman Mendiang Mami, sehingga mampu bertahan beberapa lama lagi. Sayang takdir berkata lain. Aku pun tak tahu buku itu sempat dibaca (atau minimal dilihat) mendiang atau tidak. Tapi mendadak, sekarang-sekarang ini aku merasa bahwa sebetulnya aku membeli buku itu murni buatku. Pas baca hingga setengah halamannya, aku merasa tertampar sekali. Saat membeli buku itu, jujur saja aku memang sudah merasakan yang namanya krisis iman, kering kehidupan rohani, bahkan meragukan Tuhan. Intinya, kehidupan rohaniku berada dalam situasi siaga satu. Gawat darurat sekali.
Mungkin seperti itulah cara Tuhan menyadarkanku untuk segera kembali pada-Nya. Badanku digerakkan-Nya masuk ke Central Park, menuju Gramedia, lalu membeli buku John Osteen tersebut. Walau saat itu berkehendak memberikan buku itu pada Mendiang Mami atau Papi, sebetulnya hati nuraniku berkata bahwa buku itu memang khusus untuk aku, bukan untuk siapa-siapa. Mungkin sebetulnya itulah alasan sebenarnya kenapa aku harus merogoh kocek sebesar Rp 50.000. Buku itu memang diperuntukkan untukku yang kering kehidupan rohaninya. Apalagi kita kan juga tak pernah tahu bagaimana cara Tuhan bekerja--yang selalu misterius.
Mendadak aku teringat suatu kutipan (yang tak ingat persis) dari sebuah novel yang dikarang Diego Christian. Saat tokoh utamanya mengalami kondisi yang benar-benar kacau, salah satu sahabatnya mengingatkannya untuk segera berubah; jangan sampai Tuhan menegurnya lewat suatu peristiwa. Yah memang itu benar. Tuhan memang sering menampar manusia lewat peristiwa.
Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^