ONE STORY ONE PHOTO: Cinta dari Hati





Genre: Romance











Di sebuah restoran yang cukup klasik – tepatnya di bawah sebuah atap saung, duduklah sepasang kekasih. Si cowok memiliki badan yang tinggi menjulang, nyaris setinggi pesepakbola Cristiano Ronaldo – hanya saja matanya sipit. Sedangkan si cewek bertinggi setengah dari kekasihnya. Setelah menghabiskan makan malamnya, mereka berdua saling menatap dan berpegangan tangan. Suasana restoran yang temaram dan juga diiringi oleh band pengiring – yang rutin pentas di sana tiap akhir pekan, begitu cocok sebagai tempat berkencan. Yah mereka memang sedang berkencan.

Kalau saja sang perempuan tidak membuka obrolan, keheningan di dalam saung tersebut akan terus berlanjut hingga tengah malam. "Daniel, aku ingin nanya deh. Kamu tuh sebetulnya sayang nggak sih sama aku?"

Kekasihnya yang bernama Daniel menjawab dengan mantap, "Ya iyalah, Ri. Aku benar-benar mencintai kamu." Untuk lebih meyakinkan pacarnya yang bernama Riana, Daniel meremas erat kedua tangan pacarnya.

Riana kembali bertanya, "Kalau boleh aku tahu, kamu suka aku itu karena apa sih? Yah tipe cewe kamu itu seperti apa?"

Daniel menatap lekat mata Riana. "Tipe cewek aku itu seperti kamu. Berambut panjang, kulit putih, penyabar, baik, kaya, dan pintar lagi. Udah gitu feminin lagi. Jarang-jarang aku bertemu perempuan yang kayak kamu. Langka banget."

"Berarti kalau aku tidak seperti itu lagi, kamu tidak suka sama aku lagi dong?" Riana mengerutkan keningnya.

“Maybe. Mending aku cari cewek lain yang sesuai dengan tipe aku tersebut. Jumlah cewek lebih banyak dari jumlah cowok. So, cari cewek kan gampang." Sudah pembawaannya Daniel yang berbicara ceplas-ceplos.

Mendengar itu hati Riana menjadi sakit. Ia kaget mendengarkan jawabannya Daniel tersebut. Ia menarik kedua tangannya dari genggaman Daniel. "Kalau gitu, aku minta putus aja. "

Dahi Daniel mengernyit. Kemudian ia lah yang bertanya, "Lho kenapa?"

"Karena aku tidak cocok dengan pria sepertimu yang seenaknya saja menentukan kriteria, padahal dia belum tentu lebih baik daripada perempuan itu.” jawab Riana dengan mata berkaca-kaca. “Ada baiknya kita putus saja."

"Oh kalau kamu maunya seperti itu, it's OK! Kita putus. Gak masalah buatku. Aku masih bisa mencari perempuan-perempuan lain yang sesuai dengan tipeku. Aku akan buktikan ke kamu juga, aku bisa dapat cewek baru setelah putus dari kamu. Bahkan yang lebih baik dari kamu.” tantang Daniel, sambil bangkit dari bangkunya. “Oh yah, tagihannya bayar masing-masing. Kamu bayar yang jadi bagianmu. Aku bayar yang jadi bagianku." Daniel pun berjalan keluar saung dan menuju kasirnya.

*****

Setelah lewat dua bulan, barulah Daniel menyesali kata-kata yang ia ucapkan pada mantan pacarnya itu. Entah kenapa, seolah karma, setiap perempuan yang ia dekati selalu menolaknya dengan alasan, "Maaf kamu bukan tipeku." Dan jawaban itu selalu muncul di hampir kurang lebih dua puluh perempuan yang ia dekati. Di tengah kegalauannya – karena berusaha membuktikan perkataannya waktu di Restoran Pondok Lauk, dia duduk di bangku tangga yang ada di alun-alun kota Tangerang. Ia duduk sambil bernostalgia masa-masa indahnya bersama Riana. Ia menyadari bahwa sebetulnya Riana memang gadis yang tepat untuknya, alih-alih mengatakan Riana merupakan cinta sejatinya. Dia baru sadar pula, hanya Riana lah yang betah dengan sikapnya yang suka merokok, suka datang terlambat, bersendawa setelah makan, ataupun minum minuman keras. Apalagi Riana merupakan tipe cewek rumahan. Bila melihat segala kejelekannya Daniel tersebut, harusnya Daniel bersyukur bisa berpacaran dengan Riana selama tiga tahun.

Tapi apa daya. Semuanya itu hanya tinggal kenangan. Dengan memandang sekelompok anak SMA bermain sepakbola, ia terpekur. Matanya tak sepenuhnya fokus pada pertandingan amatir yang ditontonnya. Hati nuraninya terus memaksanya untuk datang pada Riana lagi, meminta maaf, serta mengakui kekhilafannya waktu itu. Hanya saja, ia gengsi. Dimana harga dirinya sebagai seorang laki-laki, apalagi dia pemain drum di sebuah band indie – di kampusnya. Tapi bukankah harga dirinya sudah terinjak oleh dua puluh gadis yang menolaknya? Daniel semakin tertegun.

Di tengah kegundah-gulananya itu, tiba-tiba ia mendengar suara yang telah ia kenal. Sangat begitu kenal sekali. Suara itu datang dari arah belakangnya.

"Aku mau kok jadi pacar kamu lagi. Yah walau kamu itu begitu egois dan hanya mencintai gadis yang sesuai kriteria kamu."

Ia menoleh ke belakang dan ia melihat Riana, mantan pacarnya itu. Ia terpekik, "RIANA!"

"Yah ini aku. Kamu masih mau kan sama aku? Kamu masih mencintaiku kan?” ucap Riana dengan senyuman mengembang di lehernya. "Sebetulnya aku juga kayak kamu. Aku menyukaimu karena kamu inilah, itulah. Dan salah satunya itu, aku nggak suka sama seseorang yang suka pilah-pilih. Yah kayak kamu itu dulu.”

Riana mengelap lehernya yang penuh keringat. Yah, Riana sedang berolahraga. “Tapi kini aku sadar, aku sungguh menyadari bahwa aku tulus menyukaimu. Buktinya aku nggak mempermasalahkan kamu yang suka merokok. Padahal aku nggak tahan banget sama asap rokok. Aku juga masih tahan sama sikap kamu yang suka telat datang."

Daniel beringsut ke arah Riana. “Aku juga sama, Ri. Oya, aku juga minta maaf. Aku melupakan satu hal, soalnya. Rupanya nggak ada satupun cewek yang kayak kamu. Apalagi tampangku juga nggak ganteng-ganteng amat. Kamu juga tahan mendengarkan keluhanku soal band, walau kamu buta musik.

Nafas Riana mengalir teratur. Tidak tampak lagi, kalau ia baru saja lari tadi. "Riana, kamu masih mau sama aku lagi nggak? Kalau masih, aku janji, deh, aku bakal berhenti merokok. Berhenti total. Aku juga bakal sebisa mungkin mengurangi kejelekan-kejelekan aku. Itu semua demi membuat kamu nyaman di dekatku."

“Aku senang mendengarnya,” jawab Riana.

“Jadi?” Daniel mendelik ke arah Riana. “Gimana? Kamu masih mau balikan sama aku?”

Riana hanya mengangguk pelan sebagai jawabannya. Lalu terdengar suara deheman-deheman nakal di belakangnya Riana. Riana menengok ke belakangnya. Oh rupanya, kedua temannya. Septeni dan Nila, kedua sahabatnya. Pipi merah mendadak jadi semerah apel.

“Akhirnya kalian balikan juga yah?” sahut Septeni, yang berambut pendek sebahu. “Berakhir sudah deh, masa-masa galau lu yah?”

“Kamu galau mikirin aku?” Daniel nyengir.

“Iya, Nil.” Nila mengiyakan, sambil mendekat ke arah Daniel dan Riana. “Riana pernah curhat ke gue. Katanya, dia nyesel banget putus sama lu. Nyesel juga, waktu dia nge-remove lu di FB, nge-unfollow lu, dan lost contact di BBM – bahkan nomor lu sempat dihapus sama dia. Katanya juga, nggak ada lagi yang mau bantuin dia ngerjain tugas kuliahnya, antar-jemput ke kampus, atau juga ngajakin dia jalan waktu satnite. Terakhir, dia bilang kalau dia selalu ngebayangin wajah lu, Nil.”

“Itu benar kata-katanya Nila itu?” Daniel serasa tak percaya mendengarnya. “Kamu benar-benar kangenin aku, Ri?”

Lagi-lagi Riana tak menjawab. Pipinya terlalu berona merah untuk menjawabnya. Sebagai gantinya pula, ia mengangguk pelan lagi.

Daniel nyengir. Sedetik kemudian, Daniel sudah merapatkan tubuhnya ke arah Riana. Ia menggenggam tangan Riana. “Aku benar-benar menyukaimu, Ri. Walau kamu nanti pikun, keriput, gendut, atau apapun itu, I keep on loving you. "

Suasana hening sejenak.

Riana menatap erat Daniel sambil tersenyum manis, sebelum menimpali kata-katanya Daniel barusan. “I do, too,"

“E cie-cie. Baru jadian nih. Boleh nih traktirannya?!” goda Septeni. 

Bukannya Riana yang membalas, malah Daniel yang merespon kata-katanya Septeni itu. “Beres deh. Lu pesen aja.” Daniel menunjuk segerombolan pedagang kaki lima yang memang biasanya mangkal di alun-alun kota Tangerang.

“Yah kok makan di kaki lima sih?” protes Septeni. “ Tapi… Gak apa-apa deh. Ketimbang nggak ditraktir sama sekali.”

“Hu-uh!” desis Riana. “Dasar lu, Sep. Doyan gratisan mulu."

Lalu mereka berempat berjalan menuju sebuah lapak bakso. Di dalam lapak bakso itu, akhirnya Riana bisa memandang kembali cowok yang ia sesali telah dilepasnya waktu itu. Begitupun dengan Daniel. Keduanya menyadari keegoisan masing-masing dan telah mengetahui bahwa yang namanya cinta itu tidak mengenal batas dan kriteria. Bukanlah cinta namanya, kalau hanya melihat ketampanan, kecantikan, kepintaran, kemahiran, ataupun keperhatian. Itu bukan cinta, apalagi cinta sejati. Cinta sejati ialah bila kita mencintai seseorang, namun kita tak tahu kenapa kita mencintainya. Mungkin juga dialah soulmate kita. Dan… Baik Daniel dan Riana telah menemukan soulmate-nya. Mereka telah menemukan belahan jiwanya. Cinta sejatinya mereka adalah cinta yang telah mereka dapatkan.

Comments

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~