Nuel Lubis bersama Tulang Hinsa di kediamannya yang berada di daerah Graha Raya, Ciledug. |
Mendadak, aku teringat kata-kata Tulang Hinsa, Si Kabayan PanutanQu. Entah kapan, mungkin saat aku masih kelas 2 atau kelas 3 SD. Yang jelas, samar-samar kuingat, saat Tulang berkata seperti itu, aku belum berkacamata. Aku masih ceking, masih kurus kerempeng. Saking cekingnya, aku sampai diejek anak-anak komplek, yang berusia lebih tua dariku. Satu-dua mengejek kepadaku, "Woy, Ceking, mau ke mana lu? Jajan mulu, tapi badan ceking aja. Yang makan setan kali, ya?!"
Kesal, sih. Saking kesalnya, aku pernah menantang berkelahi orang tersebut. Begitu melihat si Abang itu lewat depan rumah, aku langsung terbirit-birit keluar, lalu kutantang dia berkelahi. Gila, yah, aku. Padahal si Abang lebih tua dan besar daripada aku, aku nekat saja menantang berkelahi. Kemudian, tantangan diterima. Babak pertama, aku di-KO. Si Abang membantingku ke jalan beraspal. Gila, mana terik pula. Sudah kesakitan, kepanasan aku. Tapi, besoknya aku tetap tidak takut. Tiap bertemu si Abang, aku masa bodoh. Kadang kubalas ledekannya, kadang aku berdecak (yang ganti karena aku tak bisa bersiul).
Eits, kenapa malah membahas si Abang? Oke, kita balik ke Tulang Hinsa.
Kejadiannya itu sebelum aku berkacamata dan masih ceking. Aku ingat, Tulang Hinsa tengah bertandang ke rumah. Tak sengaja Tulang berujar seperti ini: "Kuper ini si Iman, Ito." Anyway, Ito itu panggilan Tulang Hinsa untuk Mami.
Haha. Mungkin benar, mungkin salah. Yang jelas, sejak kecil, jumlah temanku sedikit. Terbatas. Sama seperti kebiasaanku berpakaian, aku cenderung berteman dengan orang yang itu-itu saja. Seperti dulu, aku seringnya berteman dengan tetangga di seberang rumah. Namanya Eriko Indrawan. Dia ini teman masa kecil yang lumayan dekat denganku. Rekan terbaik saat main playstation. Riko bahkan kelewat sering mengajariku main game, walau yang dilakukannya itu lebih tepatnya, menamatkan sebuah game demi aku. Hampir tiap game playstation di rumah, yang menyelesaikannya Riko. Kalau aku, game-nya sudah sulit sedikit saja, yah aku tinggalkan. Begitulah aku. Haha.
By the way, dulu Riko ini yang membela aku mati-matian dari yang mem-bully aku. Sejak kecil, aku ini mirip Nobita di serial animasi Doraemon. Aku selalu jadi bahan olok-olok, tapi lumayan banyak juga yang menolong dan melindungiku. Riko ini salah satunya. Lalu, yang aku ingat, Riko pernah menyemangatiku, saat aku diejek pemuda-pemuda komplek. Aku diejek karena kedapatan keluar rumah sambil menenteng handuk di bahu. Riko langsung mendekatiku dan berkata, "Nggak usah diambil hati, Man. Mereka cuma bercanda." Hari-hari berikutnya, Riko sering ikut-ikutan gila bersamaku. Kami sama-sama sering beraksi nyentrik. Haha.
Heh.....
Yeah, that's me. Nuel Lubis yang kuper (baca: kurang pergaulan), nerd, weabu, geek, otaku, culun, pemalu (saking malunya, hampir tidak mau ikut kelas Olahraga), pendiam, cengeng, kutu buku, serta yang sampai sekarang memiliki ketertarikan luar biasa dengan ular. Haha.
Yang terakhir itu benar, loh. Sejak kecil, saat anak-anak sebayaku takut dengan ular, aku malah berani dengan ular. Dulu aku pernah beberapa kali mengelus-elus ular seperti tengah membelai seekor anjing. Saking sukanya dengan ular, aku pernah mendengarkan dengan amat antusias saat ada kedua teman kuliah aku tengah membahas mengenai ular. Aku bahkan pernah mau mengikuti mereka menuju pasar ular yang ada di kawasan Menteng, Jakarta Selatan (kalau tak salah ingat).
Haha. Ini aku ngomong apa? Entahlah. Nikmati saja, yah. Ada yang bisa dipetik, silahkan. Jika ada, just judge this post as an intermezzo, ok?
Ah, aku jadi kangen banget dengan Tulang gara-gara menulis post ini.
Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^