Sebetulnya bukan hak pembaca untuk mengetahui sepenuhnya pikiran si penulis saat menuliskan cerita atau tulisannya. Penulis juga tidak memiliki kewajiban untuk memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi pada saat dirinya tengah menulis. Hak pembaca adalah menikmati. Jika tidak menikmati, yah tinggalkan. Tak usah sampai mengorek-orek, hingga membahayakan keselamatan si penulis. Jika si penulis akhirnya malah meninggal dunia, apa mau bertanggungjawab?
Untuk setiap tulisan aku di antara bulan Januari 2016 hingga Maret 2016, aku beribu-ribu kali minta maaf. Itu semua hanya imajinasi liar aku belaka. Sebuah intikali. Halu semata. Khayalan tingkat tinggi, yang sebenarnya bersumber dari setiap aktivitas aku di alam mimpi atau alam bawah sadar atau alam roh. Aku menuliskannya juga dengan sangat hati-hati. Dikarenakan aku menjaga respek banyak orang di seluruh dunia. Aku sadar betul apa yang terjadi jika takabur. Mungkin nyawa taruhannya.
Hanya itu yang bisa aku katakan. Jangan desak aku. Aku menolak untuk bercerita lebih lanjut. Aku juga meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Alasan kenapa aku menuliskannya, sederhana saja. Kupikir, akan menjadi ide yang sangat bagus, jika dijadikan cerpen atau novel. Apalagi, saat itu, beberapa bulan sebelumnya, aku baru saja menerbitkan novel secara indie. FTV pertama baru tayang juga. Yeah, it's such good marketing to me. Aku menuliskannya semata demi pemasaran novel-novel indie aku. Iya, aku sedikit takabur (yang terdorong karena mengejar cuan sampai pengalaman spiritual atau roh aku dijadikan bahan cerita fiksi dan alat marketing). Akan tetapi, pernahkah terpikirkan jika kalian berada di posisi aku?
Andaikan ada satu cerita fiksi yang aku ciptakan itu seperti menjadi kenyataan untuk yang membacanya, anggap saja hanya kebetulan belaka (dengan campur tangan Tuhan di dalamnya). Aku bukan cenayang pula. I'm just an ordinary guy. Maka dari itu, jika tidak terjadi, namanya juga fiksi. Cerita rekaan belaka. Hei, aku bukan peramal, kali. Lol. Just enjoy it.
Damai, yah. Sekali lagi, minta maaf dan mohon pengampunan. Aku pun menolak untuk memberitahukan secara terperinci. Itu bukan kewajiban aku, pasalnya. Yang bisa aku janjikan, mungkin ke depannya aku bakal lebih berhati-hati dalam membuat cerita fiksi. Belajar menyortir mana yang harus dibagikan ke publik, mana yang bukan (yang mana aku mulai paham dengan istilah 'edit imajinasi'). That's it.
Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^